REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Vietnam Pham Minh Chinh menyepakati peningkatan target perdagangan bilateral hingga lebih dari 15 miliar dolar Amerika Serikat/AS (sekitar Rp 233,7 triliun) pada 2028.
Selama pertemuan bilateral, di Hanoi, Jumat, Presiden Jokowi dan PM Chinh juga sepakat untuk meningkatkan perluasan akses pasar dan pengurangan hambatan perdagangan, menyusul tercapainya target perdagangan 10 miliar dolar AS (sekitar Rp 155,9 triliun) yang berhasil dicapai kedua negara pada 2023.
“Di bidang investasi, Bapak Presiden (Jokowi) meminta dukungan Perdana Menteri Chinh untuk terus mendorong iklim investasi yang kondusif yang mengutamakan aspek pelindungan terhadap investor, termasuk tentunya investor Indonesia di Vietnam,” kata Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dalam transkrip pernyataannya terkait agenda kunjungan Presiden Jokowi di Vietnam.
Tercatat lebih dari 32 perusahaan Indonesia yang beroperasi di Vietnam, sehingga menurut Retno, permintaan Presiden Jokowi kepada PM Chinh tersebut menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap para investor Indonesia yang melakukan kegiatan di luar negeri.
Presiden Jokowi dan PM Chinh juga sepakat untuk mendorong kerja sama pertanian melalui kerja sama komoditas pangan strategis termasuk penelitian, pengendalian mutu, dan smart farming.
Sedangkan di sektor perikanan, Presiden Jokowi mengapresiasi meningkatkan ekspor produk perikanan Indonesia ke Vietnam hingga hampir dua kali lipat pada 2022.
“Bapak Presiden dan PM Chinh juga sepakat akan pentingnya upaya bersama untuk terus mendorong kolaborasi dan investasi termasuk untuk kemajuan industri perikanan dan upaya untuk pemberantasan IUU fishing,” ujar Menlu Retno.
Kerja sama selanjutnya yang dibicarakan di antara kedua pemimpin itu adalah sektor energi terbarukan.
“Presiden Jokowi dan PM Chinh sepakat bahwa kolaborasi di antara negara ASEAN amat krusial untuk mencapai kemandirian di sektor ini,” kata Retno.
Sebelum menutup pertemuannya, Presiden Jokowi dan PM Chinh menegaskan pentingnya terus bekerja sama dalam menyelesaikan “pekerjaan rumah” ASEAN, termasuk upaya menyelesaikan krisis di Myanmar.