Jumat 12 Jan 2024 06:38 WIB

Menjadi Gila Belanja Karena Algoritma

Algoritma platform Tiktok bisa ‘membius’ masyarakat untuk memutuskan belanja.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Setyanavidita livicansera
Pedagang berjualan melalui siaran langsung TikTok Shop di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (12/12/2023). TikTok resmi mengumumkan untuk membuka kembali fitur belanja di dalam aplikasi mulai Selasa 12 Desember yang bermitra bersama PT GoTo dengan menggelontorkan investasi senilai Rp1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,4 triliun. Menurut pedagang pada hari pertama pengaktifan kembali fitur TikTok Shop dalam kurun waktu setengah hari baru terdapat 1.000 penonton saat melakukan siaran langsung.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pedagang berjualan melalui siaran langsung TikTok Shop di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (12/12/2023). TikTok resmi mengumumkan untuk membuka kembali fitur belanja di dalam aplikasi mulai Selasa 12 Desember yang bermitra bersama PT GoTo dengan menggelontorkan investasi senilai Rp1,5 miliar dolar AS atau sekitar Rp23,4 triliun. Menurut pedagang pada hari pertama pengaktifan kembali fitur TikTok Shop dalam kurun waktu setengah hari baru terdapat 1.000 penonton saat melakukan siaran langsung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selayaknya platform media sosial lain, Tiktok pun memiliki algoritma tersendiri dalam menyediakan konten-konten bagi para penggunanya. Peneliti Center for Digital Society (CfDS) dari Universitas Gadjah Mada, Muhammad Perdana Sasmita Jati Karim, menyebutkan, algoritma platform asal Cina itu mempunyai dampak terhadap kebiasaan penggunanya, yang mana berupa impulsive buying atau belanja tanpa didasari oleh beberapa pertimbangan.

“Sebagaimana pengguna mayoritas Tiktok Shop sebelum ditariknya Tiktok Shop dari peredaran, adalah lebih kepada pengguna kasual yang hanya kebetulan saja tergiur oleh promo-promo murah yang ditawarkan oleh Tiktok Live,” kata Karim, Kamis (11/1/2024).

Baca Juga

Karim menilai, algoritma platform Tiktok bisa ‘membius’ masyarakat dalam memutuskan belanja tanpa didasari beberapa pertimbangan. Dia  menjelaskan, ketidaksadaran masyarakat masuk melalui konten-konten di Tiktok yang secara tidak langsung mendekatkan preferensi pengguna.

Salah satu contoh, yakni konten yang menjadi tren hasil rekayasa algoritma terus-menerus didekatkan kepada para pengguna. “Akibat ketidaktahuan ini, bisa jadi platform semakin kencang dalam memberikan atau menyusupi konten-konten yang sebenarnya adalah ‘undisclosed ads’ (iklan tersembunyi). Konten yang tampak natural dan normal, namun nyatanya merupakan iklan bagi suatu produk,” terang dia.

Menurut dia, hal itu berakibat pada masyarakat tidak akan menyadari yang membuat mereka tertarik untuk membeli suatu produk bukanlah dari keinginan sendiri, melainkan karena mereka menjadi ‘korban tak langsung’ dari iklan-iklan yang semakin personal dan semakin senada dengan ketertarikan mereka.

“Logika berpikirnya bukan lagi masyarakat memiliki interest terhadap suatu produk kemudian algoritma menyuguhi iklan kepada mereka, akan tetapi algoritma akan terus memaksakan suatu interest kepada produk sehingga secara tidak sadar mereka tertarik, dan ingin membeli. Menanam benih dalam pikiran mereka yang sebenarnya memang tidak ada, tetepi menjadi ada dengan algoritma,” kata dia.

Regulasi yang abu-abu pun menjadi celah. Sebab itu, semestinya perlu ada aturan jelas untuk mengatur mana fungsi platform sebagai media sosial dan mana platform e-Commerce. Beberapa waktu lalu, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyebut Tiktok Shop masih melanggar peraturan setelah beroperasi kembali. Sebab, Tiktok Shop dinilai masih beroperasi dengan cara yang sama dengan sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement