Kamis 16 Nov 2023 17:45 WIB

Aprindo Prediksi Pertumbuhan Ritel Nasional Capai 4,2 Persen

Pertumbuhan ritel di atas 4 persen dapat tercapai bila suasana kondusif dijaga.

Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey.
Foto: Dok. Istimewa
Ketua Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan, pertumbuhan usaha ritel nasional diproyeksikan tumbuh hingga 4,2 persen hingga akhir tahun.

Roy menyampaikan, pada 2022 pertumbuhan ritel Indonesia berada di kisaran 3,8-3,9 persen. Menurut dia, pertumbuhan di atas 4 persen dapat tercapai bila suasana kondusif dapat terjaga.

Baca Juga

"Mudah-mudahan bisa di angka 4 sampai 4,2 persen, dengan catatan kalau suasana kondusif terjaga. Masalahnya kita enggak bisa kontrol, dalam hal politik, ketersediaan pangan, kestabilan harga," ujar Roy dalam jumpa pers Aprindo di Jakarta, Rabu.

Kondusif dipengaruhi oleh dua aspek yakni pesta demokrasi atau pemilu 2024 dan kestabilan pasokan dan harga kebutuhan barang pokok.

Roy mengatakan, beberapa komoditas pangan yang harus menjadi perhatian pemerintah menjelang akhir 2023 meliputi beras, gula, bawang putih dan cabai. Kebutuhan barang pokok tersebut diprediksi akan mengalami peningkatan.

Sementara itu, Roy menyampaikan bahwa kondisi industri atau sektor ritel modern belum pulih 100 persen setelah pandemi Covid-19. Ditambah lagi dengan berbagai peristiwa yang terjadi di dunia seperti masalah geopolitik dan juga di dalam negeri.

"Kedua terjadi anomali finansial. Gejolak finansial atau gejolak keuangan karena geopolitiknya kena, maka finansialnya kena. kita tahu inflasi tinggi itu masih ada di berbagai negara yang masih punya inflasi 78-120 persen," kata Roy.

Roy mengatakan, saat ini negara-negara maju berupaya untuk menjaga inflasi dengan menaikkan suku bunga The Fed. Amerika kini berada dalam posisi 5,5 persen dan akan terus naik hingga 6 persen.

Menurut Roy, inflasi menjadi permasalahan yang tidak bisa cepat selesai karena gejolak politik sehingga ada permintaan dan suplai yang terganggu.

"Ada pasokan dan permintaan yang terganggu sehingga suplai kurang, permintaan tetap maka harga naik. Suplainya macet tapi permintaannya tetap, harga pasti naik, ini berkaitan dengan inflasi," ujarnya.

 

sumber : ANTARA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement