REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta publik untuk tidak membandingkan antara Bursa Karbon dengan Pasar Saham karena keduanya mempunyai mekanisme perdagangan berbeda.
"Jadi, perlu untuk tidak membandingkan dengan pasar equity. Ini, memang (mekanismenya) lain, karakternya itu berbeda dan tentunya ini bukan perdagangan yang spekulatif, yang dalam jual beli dalam satu hari akan keluar," kata Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) OJK September 2023 secara daring di Jakarta, Senin (9/10/2023).
Penegasan tersebut terkait respons akan sepinya aktivitas perdagangan Bursa Karbon. Berdasarkan hasil evaluasi, sambung Inarno, jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, Bursa Karbon Indonesia termasuk mempunyai perkembangan yang cukup baik.
Hal itu tercermin dari jumlah total transaksi yang telah mencapai Rp 29,21 miliar, dengan jumlah unit karbon yang diperdagangkan sebesar 490 ribu ton unit karbon (tCO2) equivalent. Kemudian para pelaku dalam Bursa Karbon sendiri tercatat ada 16, yang mana satu merupakan penjualnya yaitu PT Pertamina Geothermal Energy Tbk dan 15 perusahaan pembeli.
"Ini menunjukkan perkembangan cukup baik, apalagi kalau kita lihat dari negara-negara tetangga Singapura dan Malaysia yang butuh waktu. Malaysia supaya ada perdagangan aktif itu butuh lebih dari satu tahun," ujarnya.
Oleh karena itu, Inarno berharap dalam waktu dekat masih ada satu pelaku perdagangan dalam Bursa Karbon yang mendaftar (listing) di Indonesia Carbon Exchange (ICX)."Ke depan, OJK akan terus mengkaji perkembangan bursa karbon dan berkolaborasi dengan Kementerian LHK, Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Kemenko Maritim dan Investasi. Kami berharap ke depan pasokan dan permintaannya makin banyak," katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat peresmian Bursa Karbon menyampaikan bahwa Bursa Karbon menjadi kontribusi nyata Indonesia untuk berjuang bersama dunia melawan krisis iklim. Hasil perdagangan itu akan diinvestasikan kembali untuk upaya menjaga lingkungan, khususnya melalui pengurangan emisi karbon.
Selain itu, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara yang sekitar 60 persen berpotensi mengurangi emisi karbon dari sektor alam. Presiden Jokowi mencatatkan kurang lebih ada satu gigaton CO2 potensi kredit karbon yang bisa ditangkap, serta Rp 3.000 triliun yang dapat diraup dari perdagangan karbon tersebut.