REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi menyatakan, rupiah mengalami pelemahan setelah data ekonomi Amerika Serikat (AS) yang kuat mendukung pandangan Federal Reserve mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama.
Semalam, data Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur AS dari The Institute for Supply Management (ISM) pada September 2023 menunjukkan pemulihan naik ke angka indeks 49,0 dari sebelumnya 47,7.
“Manufaktur AS mengambil langkah lebih jauh menuju pemulihan pada September 2023 karena produksi meningkat dan lapangan kerja pulih,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (3/10/2023).
Sejumlah data ekonomi AS yang kuat selama beberapa pekan terakhir telah memperkuat ekspektasi The Fed bakal mempertahankan kenaikan suku bunga untuk jangka waktu yang lebih lama. Beberapa pembuat kebijakan memperingatkan risiko pengetatan lebih lanjut jika inflasi tidak terus melambat seperti yang diperkirakan.
“Imbal hasil Treasury AS juga memberi dorongan pada dolar, melonjak karena rilis data yang optimis, serta kesepakatan di menit-menit terakhir yang mencegah penutupan pemerintah,” ungkap Ibrahim.
Menurut pengamat pasar uang Ariston Tjendra, pengaruh dari ekspektasi suku bunga tinggi akan berlanjut hingga akhir tahun menimbang The Fed akan mengeluarkan kebijakan penting pada Desember 2023. Ekspektasi suku bunga tinggi turut didukung data ekonomi AS, terutama data inflasi yang belum menurun ke arah target 2 persen.
“Sentimen pasar terhadap suku bunga tinggi masih tinggi hingga akhir tahun. Ini bisa di-counter bila data ekonomi AS menunjukkan inflasi dan kondisi ketenagakerjaan menurun,” katanya.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah sebesar 50 poin atau 0,32 persen menjadi Rp 15.580 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp 15.530 per dolar AS.
Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Selasa turut melemah ke posisi Rp 15.600 dari sebelumnya Rp 15.519 per dolar AS.