REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senior Economist PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rully Arya Wisnubroto menyatakan tekanan global terhadap rupiah masih sangat besar.
"Pasar menunggu hasil rapat FOMC (Federal Open Market Committee) yang akan dirilis nanti malam. Pasar akan menunggu sinyal/petunjuk dari FOMC mengenai langkah dan prospek arah suku bunga The Fed hingga akhir tahun," ujar dia ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (20/9/2023).
Pasar memperkirakan The Fed hampir pasti akan mempertahankan suku bunganya pada kisaran 5,25 persen hingga 5,50 persen, sehingga fokus pada panduan ke depan bank sentral.
Menurut CME FedWatch Tool, pasar berjangka memperkirakan kemungkinan 30 persen kenaikan seperempat poin pada November 2023 atau 40 persen kemungkinan kenaikan pada Desember 2023. "(Hasil rapat FOMC) masih akan tetap (membuat rupiah) tertekan, tapi masih akan dilakukan stabilisasi oleh BI (Bank Indonesia), sehingga tidak melemah terlalu signifikan," ucap Rully.
Intervensi tersebut menggunakan strategi triple intervention yang dilakukan melalui intervensi di pasar spot, pasar Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan pasar obligasi negara. "(Adapun) ekonomi China saat ini melambat karena sektor properti yang mengalami banyak permasalahan, sementara Jepang dan Eropa masih fokus kepada penanganan inflasi," kata dia.
Pada penutupan perdagangan hari ini, mata uang rupiah melemah tipis sebesar 2 poin atau 0,01 persen menjadi Rp 15.382 per dolar AS dari penutupan sebelumnya sebesar Rp 15.380 per dolar AS. Begitu pula dengan melihat Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Rabu yang melemah ke posisi Rp 15.396 dari sebelumnya Rp 15.381 per dolar AS.