REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pemerintah harus hadir dalam menyikapi fenomena social commerce. Faisal menyampaikan apa yang terjadi saat ini di Tiktok Shop cenderung berbeda dengan model e-commerce sebelumnya.
"TikTok disinyalir bukan hanya memperjualbelikan barang sebagaimana e-commerce lain, tapi juga membuat algoritma yang bisa mengidentifikasi sampai ke produk-produk apa paling laris, berapa harganya, dan diiklankan langsung," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/9/2023).
Faisal mengatakan banjir produk impor, terutama dari China sejatinya telah terjadi setelah adanya perjanjian perdagangan China Asean Free Trade Area (CAFTA) sejak 2005. Akibat perjanjian tersebut, ucap Faisal, konsumen lebih memilih produk tekstil China karena lebih murah dan bervariasi.
"Tapi keberadaan TikTok lebih advance lagi. Itu yang dikhawatirkan, artinya itu bisa menjadi satu ancaman karena kelebihannya itu, mereka lebih paham pasar di Indonesia," ucap Faisal.
Faisal menyampaikan, pemerintah sudah sepantasnya hadir untuk melindungi pelaku UMKM. Faisal menyebut, para pelaku UMKM tentu tidak akan bisa bersaing dengan produk impor yang menawarkan harga lebih rendah.
"Masalah UMKM itu akses pasar. Artinya perlindungan akses pasar perlu diberikan secara khusus untuk UMKM karena mereka lebih rentan," kata Faisal.
Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan, pemerintah harus tegas dalam memisahkan media sosial dan social commerce. Piter menilai pemerintah harus melarang platform media sosial dipergunakan untuk berjualan.
"Yang dibutuhkan aturan yang melarang social commerce. Yang harus dilakukan pemerintah melarang adanya social commerce, hanya ada e-commerce. Tujuannya agar ada pengawasan dan perlakuan yang adil kepada semua pelaku perdagangan daring," kata Piter.