REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Social-commerce dinilai tidak bisa dilarang sepenuhnya. Itu karena interaksi di media sosial tidak dapat diatur.
"Apakah mau jual beli atau interaksi lainnya," ujar peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda kepada Republika.co.id, Selasa (12/9/2023).
Maka, kata dia, seharusnya ada pengaturan untuk social-commerce yang disamakan dengan e-commerce, sebab prinsipnya sama-sama berjualan lewat internet.
Ia melanjutkan, pengenaan pajak dan sebagainya pun menjadi krusial diterapkan pada social-commerce. Pada 2019 lalu, Nailul mengungkapkan, sudah menyampaikan social-commerce akan lebih sulit diatur karena sifatnya yang tidak mengikat ke perusahaan aplikasi.
"Akan banyak loophole (celah) di situ," ujar dia. Dia melanjutkan, usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga bakal terdampak, karena banyak impor dijual melalui social-commerce.
Nailul menyebutkan, barang impor di pasar online ada dua. Pertama, barang impor yang penjualnya di luar negeri, jadi pengirimannya dari luar negeri, biasanya China.
Barang itu, kata dia, biasanya disebut cross border commerce. Maka, tegasnya, kebijakan pelarangan impor maksimal 100 dolar AS pasti akan efektif karena benar-benar dilarang.
Kedua, yaitu barang impor yang dijual oleh penjual lokal, pengirimannya dari domestik. "Ini porsinya besar sekali dan tidak bisa dibatasin oleh kebijakan larangan impor maksimal 100 dolar AS," kata Nailul.
Kebijakan pelarangan impor bagi produk di bawah harga 100 dolar AS menurut dia, memang akan efektif untuk membendung impor, tapi bagi sistem yang cross border commerce. "Kalau untuk yang barangnya sudah di Indonesia, tentu tidak akan berpengaruh kebijakan ini," ujar dia.
Maka, dia melanjutkan, kalau memang mau impor bisa melalui mekanisme impor seperti biasa, bukan melalui e-commerce. Tujuannya agar ada nilai tambah ke perdagangan nasional.
Seperti diketahui, pemerintah tengah berupaya menitipkan social-commerce. Permendag Nomor 50 Tahun 2020 pun akan direvisi.