Ahad 10 Sep 2023 23:49 WIB

Revisi Permen PLTS Atap Diminta Dikaji Ulang, Ini Alasannya

Revisi Permen ESDM No 26 dinilai membunuh minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menargetkan mampu bisa mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada 2045. Hanya saja, hingga kini baru mencapai 12,3 persen. 

Artinya dalam dua tahun pemerintah harus menggenjot capaian EBT hingga 10,7 persen. Salah satu bauran energi terbarukan yang diandalkan adalah PLTS Atap. 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Ir. Yudo Dwinanda Priaadi, M.S. pada Diskusi Media bertema “Perubahan Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021, Mampukah Mendorong Capaian Energi Baru Terbarukan di Indonesia?” mengatakan PLTS Atap merupakan salah satu program yang didorong oleh pemerintah untuk mengisi gap pencapaian target bauran energi terbarukan. 

Karenanya pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mendorong pertumbuhan PLTS Atap, salah satunya adalah Permen No. 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang saat ini sedang menunggu pengesahan Pemerintah. 

Akan tetapi, Menurut Bambang Sumaryo, Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan dan Regulasi, Teknologi, dan Pengembangan Industri Surya, Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Pada dasarnya adanya revisi Permen ini akan membunuh minat masyarakat untuk memasang PLTS Atap on-grid  atau yang tersambung ke grid PLN. “Tetapi, apa yang akan masyarakat lakukan? Karena bisa dikatakan masyarakat itu pada umumnya sangat picky (sangat memilih), begitu dia melihat suatu kemungkinan itu ditutup, dia akan mencari peluang atau open opportunity yang lain, dan open opportunity yang lain itu adalah off-grid. Artinya apa? Revisi ini akan mendorong masyarakat untuk menjauh atau untuk berpisah dari grid yang istilah akademisnya grid defection, dan  ini bahaya”, jelas Sumaryo. 

Lebih jauh ia mengatakan bahwa kalau masyarakat sudah terlanjur grid defected, atau meninggalkan grid, maka akan sangat sulit untuk menarik kembali ke grid. Akan diperlukan effort yang sangat luar biasa untuk menarik kembali menjadi pelanggan PLN. 

Pembicara lain pada diskusi yang diselenggarakan oleh Orbit Indonesia.com, Dr. Ir. Herman Darnel Ibrahim, M.Sc., Anggota Dewan Energi Nasional (DEN)  setuju dengan pendapat Sumaryo. Menurutnya Bila dibandingkan dengan Permen sebelumnya dan juga menurut beberapa pelaku usaha dengan tidak adanya ekspor dihitung walaupun kapasitas bebas daya tariknya akan turun. “Nah kalau sebanyak yang bisa tanpa ekspor tentu hal ini tidak akan menggenjot, padahal kalau kita mau meningkatkan bauran energi terbarukan, yang paling bisa diandalkan dengan cepat dan dengan luas itu adalah PLTS. Jadi peraturan ini sebenarnya harus diuji dulu secara simulasi, apakah dengan peraturan ini serta-merta investasi di bidang PLTS baik oleh industri baik bukan industri itu akan menarik”, ujar mantan Direktur Distribusi dan Transmisi PLN ini.

Lebih lanjut Herman mengatakan, PLTS Atap sebetulnya salah satu opsi untuk mendorong pengembangan energi terbarukan di mana pemerintah, dalam hal ini PLN itu tidak perlu melakukan investasi pembangunan pembangkit, karena tingkat partisipasi dan minat yang sangat tinggi dari masyarakat, baik rumah tangga maupun industri.  Perbaikan peraturan ini harus memberi peluang, supaya agar ada insentif ekspor yang dihitung sehingga menarik bagi pelanggan, tetapi PLN juga tidak boleh dirugikan. 

Dulu ada tiga hal sebenarnya harus diatur, yaitu tentang kapasitas yang dibatasi 100%, kedua tentang harga yang dianggap dibeli atau harganya sama dengan 65%, karena dari energi yang diekspor yang diakui hanya 65%. Sekarang di Permen Nomor 26 diakui 100% kapasitasnya, tetapi akibatnya PLN merasa kurang, agak dirugikan atau tidak pada posisi yang ikut win-win dengan adanya PLTS Atap. 

“Sebetulnya peraturan yang diperlukan adalah harga tetap sama dengan 1 banding 1.  Jadi kalau dia beli dari PLN misalnya harganya 1500 ya ekspornya dibayar 1500 juga. Cuma yang perlu dibatas adalah berapa energi boleh diekspor. Nah saran saya dulu adalah, saat ini juga sama, kalau dia mengekspor misalnya 300 dia boleh mengimpor 300, dia boleh ekspor 100, jadi ekspor tuh sepertiga dari impor jadi kalau dia impor sepertiga, jadi rekeningnya jadi dipotong sepertiga, jadi tinggal kalau dia bikin impor 300 dia konsumsi 400,  dia ekspor 100, dia bayarnya 200 gitu. Jadi ada penurunan pembayaran tapi kalau nggak boleh ekspor berarti dia kan harus atur kapasitasnya”, tambahnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement