REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis pasar mata uang Lukman Leong mengatakan rupiah menguat di tengah sentimen risk on dan dolar Amerika Serikat (AS) yang melemah pascadata Job Openings and Labor Turnover Survey (JOLTS) lebih lemah dari perkiraan.
"(Data tenaga kerja JOLTS) sebesar 8,82 juta, (lebih lemah dari) perkiraan (sebesar) 9,46 juta," ujar Lukman dilansir Antara di Jakarta, Rabu (30/8/2023).
Pelemahan data tenaga kerja JOLTS meredakan ekspektasi pada prospek suku bunga The Fed. Adapun data automatic data processing (ADP) dan non-farm payroll (NFP) yang akan dirilis pada pekan diperkirakan juga mengalami pelemahan.
"Rupiah pada hari ini diperkirakan bergerak di kisaran Rp 15.150-Rp 15.300 per dolar AS," ucapnya.
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Rabu pagi menguat 0,28 persen atau 42 poin menjadi Rp 15.218 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.260 per dolar AS.
Dolar AS melemah terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), karena pasar tenaga kerja AS mendingin dan kepercayaan konsumen menurun ketika investor menunggu angka pasar tenaga kerja yang lebih komprehensif dalam laporan pekerjaan Agustus 2023.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,50 persen menjadi 103,5332 pada akhir perdagangan.
Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan bahwa jumlah lowongan pekerjaan pada Juli 2023 mencapai 8,82 juta, level terendah sejak Maret 2021. Angka ini mengikuti 9,16 juta lowongan pekerjaan pada Juni 2023 dan berada di bawah ekspektasi pasar sebesar 9,46 juta, yang menunjukkan bahwa masyarakat Amerika menjadi kurang percaya diri terhadap pasar tenaga kerja. Laporan tersebut mencatatkan jumlah karyawan yang dipekerjakan dan total pemutusan hubungan kerja tidak banyak berubah, masing-masing sebesar 5,8 juta dan 5,5 juta.
Lebih lanjut, data itu telah meningkatkan keyakinan bahwa Federal Open Market Committee (FOMC) takkan menaikkan suku bunga pada pertemuan kebijakan 19-20 September 2023. Data ekonomi AS menunjukkan ketahanan dalam menghadapi kenaikan suku bunga, tetapi investor tetap waspada terhadap tanda-tanda dampak lambat dari pengetatan moneter.