REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menanggapi informasi yang beredar di media terkait gaji atau honorarium jajaran dewan komisaris, termasuk Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, PT Pertamina (Persero) pun menyampaikan informasi tersebut tidak tepat. Hal itu setelah Ahok dikabarkan menerima gaji Rp 8,3 miliar per bulan.
Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyampaikan, besaran remunerasi bagi anggota dewan komisaris ditetapkan oleh rapat umum pemegang saham (RUPS). Aturan itu berlaku setiap tahun selama setahun, terhitung sejak bulan Januari tahun berjalan.
Penetapan mengacu pada pedoman sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER–13/MBU/09/2021 tanggal 24 September 2021 tentang Perubahan Keenam atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor PER-04/ MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN.
"Dalam pemberitaan disebutkan bahwa honorarium komisaris disebutkan mencapai miliaran rupiah per bulan, hal itu tidak benar," ucap Fadjar di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Menurut Fadjar, penetapan penghasilan yang berupa gaji atau honorarium, tunjangan dan fasilitas yang bersifat tetap dengan mempertimbangkan faktor skala usaha, faktor kompleksitas usaha, tingkat inflasi, kondisi dan kemampuan keuangan perusahaan, dan faktor lain yang relevan. Selain itu, juga tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Faktor lain yang relevan di antaranya adalah tingkat penghasilan yang berlaku umum dalam industri yang sejenis. "Besaran gaji atau honorarium itu berdasarkan banyak faktor, salah satunya kemampuan keuangan perusahaan," ucap Fadjar.