REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menyatakan rupiah berpotensi melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) karena pasar menunggu hasil rapat kebijakan moneter The Fed yang akan dirilis pada Kamis (27/7/2023).
"Menurut survei CME FedWatch Tool, probabilitas hampir 100 persen The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen-5,50 persen," ujar Ariston, Senin (24/7/2023).
Lebih lanjut, pasar disebut bisa berperilaku wait and see dan tidak berani berspekulasi terlalu besar menjelang pengumuman hasil rapat The Fed.
"Tingkat inflasi AS memang melandai, tapi belum menyentuh target dua persen, apalagi beberapa data ekonomi AS seperti data tenaga kerja, masih mengindikasikan daya beli masyarakat AS masih tinggi sehingga bisa menaikkan inflasi lagi," ungkap Ariston.
Selain itu, imbal hasil obligasi Pemerintah AS masih terlihat meningkat yang mengindikasikan bahwa pasar mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan AS berikutnya.
"Potensi pelemahan ke arah Rp 15.050-Rp 15.070 per dolar AS dengan potensi support di kisaran Rp 14.980 per dolar AS," ucapnya.
Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin pagi melemah 0,04 persen atau 6 poin menjadi Rp 15.034 per dolar AS dari sebelumnya Rp 15.028 per dolar AS.
Sebelumnya, dolar AS menguat terhadap sekeranjang mata uang lainnya pada akhir perdagangan Jumat (Sabtu pagi WIB), ketika investor menunggu pertemuan kebijakan Komite Pasar Terbuka Federal (Federal Open Market Committee/FOMC) pekan depan yang diperkirakan akan menaikkan suku bunga lagi.
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama saingannya, terangkat 0,19 persen menjadi 101,0724 pada akhir perdagangan.
Pertemuan bank sentral Amerika Serikat dijadwalkan minggu depan, dengan Federal Reserve diperkirakan akan menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin.
Investor akan fokus pada komentar dari Ketua Fed Jerome Powell setelah keputusan suku bunga bank sentral AS pada Rabu (26/7/2023) untuk petunjuk apakah kemungkinan akan melanjutkan kenaikan suku bunga.
"Powell kemungkinan besar akan mempertahankan opsionalitas - tidak ada alasan bagi mereka untuk berkomitmen hingga September ketika Anda memiliki dua laporan inflasi yang akan terjadi setelah pertemuan minggu depan," kata Edward Moya, analis pasar senior di OANDA di New York.