Senin 10 Jul 2023 15:05 WIB

Ratusan Pengusaha Pertashop Merugi Imbas Konsumen Beralih ke Pertalite

Pemerintah diminta segera membahas aturan terkait penjualan Pertalite.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolandha
Warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) di Pertashop, Yogyakarta, Selasa (10/5/2022). Daerah Istimewa Yogyakarta mencatatkan inflasi tertinggi pada April 2022, sejak terdampak pandemi Covid-19 pada 2020. Inflasi pada April 2022 tercatat 1,14 persen, andil terbesar yang mendorong terjadi inflasi adalah kenaikan BBM sebesar 8,28 persen.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Warga mengisi bahan bakar minyak (BBM) di Pertashop, Yogyakarta, Selasa (10/5/2022). Daerah Istimewa Yogyakarta mencatatkan inflasi tertinggi pada April 2022, sejak terdampak pandemi Covid-19 pada 2020. Inflasi pada April 2022 tercatat 1,14 persen, andil terbesar yang mendorong terjadi inflasi adalah kenaikan BBM sebesar 8,28 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ratusan pengusaha outlet Pertamina Shop (Pertashop) mengaku menderita kerugian sejak PT Pertamina menaikkan harga BBM Pertamax hingga terpaut jauh dengan BBM Pertalite. Pasalnya, konsumen yang biasa membeli bahan bakar nonsubsidi di Pertashop kini beralih ke Pertalite yang hanya khusus dijual di SPBU Pertamina. 

Sekretaris Pengusaha Pertashop Jateng-DIY Gunadi Broto Sudarmo menuturkan, Pertashop mulai berdiri sejak 2019 lalu dan diharapkan menjadi lembaga penyalur skala kecil yang khusus melayani kebutuhan konsumen nonsubsidi, yakni BBM Pertamax dan Dexlite. Keberadaan Pertashop juga membantu masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh penyalur resmi Pertamina. 

Baca Juga

Seiring berkembangnya Pertashop, omzet penjualan terus meningkat. Gunadi mengaku, puncak penjualan terjadi Januari 2022 saat Pertamax masih dihargai Rp 9.000 per liter karena Pertashop bisa menjual hingga 34 ribu liter per bulan. Dengan margin Rp 850 per liter untuk Pertashop Gold, setidaknya dikantongi pendapatan kotor Rp 28,9 juta. 

Namun, sejak April 2022, Pertamina menaikkan Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter, sedangkan Pertalite tetap Rp 6.750 per liter. Harga yang terpaut itu membuat konsumen beralih dan Pertashop mulai kehilangan pembeli. Penjualan pun turun menjadi hanya 16 ribu per liter.  

“Dengan adanya disparitas harga, omzet turun drastis hingga 90 persen. Ada 201 Pertashop merugi dari 408 Pertashop. Aset disita karena kita tidak sanggup membayar angsuran bulanan ke bank bersangkutan,” kata Gundai dalam Audiensi bersama Komisi VII DPR, Senin (10/7/2023).

Ia menuturkan, tekanan terhadap usaha Pertashop terus berlanjut saat harga Pertamax terus mengalami kenaikan hingga Rp 14.500 per liter dan Pertalite dihargai Rp 10 ribu per liter. Kendatipun, saat ini Pertamax telah turun menjadi Rp 12.400 Gunadi mengaku penjualan Pertamax di Pertashop tetap tak mengalami perbaikan. 

Pertashop yang merugi saat ini, kata Gunadi, mengalami masalah dengan bank. Pasalnya, mereka yang membuka usaha Pertashop tak sepenuhnya dengan modal pribadi, tapi menggunakan Kredit Usaha Rakyat dari bank BUMN maupun BUMD. 

Sebagai contoh, modal yang harus dikeluarkan untuk Pertashop Gold mencapai Rp 570 juta. Sementara, setiap bulannya, pemilik tetap harus membayar gaji karyawan, BPJS, serta menanggung losses BBM. 

“Usaha Pertashop tidak dapat untung, justru rugi,” ujarnya. 

Sebagai solusi, ia meminta pemerintah untuk segera menerbitkan Revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang akan mengatur Pertalite. Seperti diketahui, nantinya pembeli Pertalite bakal dibatasi khusus bagi mereka yang berhak, tapi hingga saat ini belum diketahui skema yang akan ditetapkan pemerintah. Di satu sisi, ia pun meminta agar pemerintah dapat menindak tegas pengecer ilegal BBM Pertalite, seperti Pertamini yang kian menjamur di mana-mana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement