REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Negara-negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) menyebut, regulasi antideforestasi Uni Eropa (EUDR) diskriminatif dan memberatkan.
Sekretaris Jenderal CPOPC Rizal Affandi Lukman saat memberikan di Jakarta, Kamis (6/7/2023), mengatakan, sektor sawit terus menghadapi peraturan yang diskriminatif, misalnya regulasi antideforestasi Uni Eropa (EUDR) yang baru disahkan. "EUDR kemungkinan akan menciptakan hambatan terhadap akses pasar, akan membebani produsen dan merugikan petani kecil dari rantai pasokan," ujar Rizal.
CPOPC menganggap kebijakan itu mengecilkan semua upaya produsen kelapa sawit yang berkomitmen untuk menyelesaikan permasalahan terkait perubahan iklim dan perlindungan keanekaragaman hayati, sesuai dengan yang telah disepakati bersama dalam Paris Agreement. "Negara-negara anggota CPOPC secara ketat juga telah menerapkan berbagai kebijakan di bidang konservasi hutan yang telah berhasil menurunkan tingkat penggundulan dan kebakaran hutan," kata Rizal menambahkan.
Hingga saat ini, terdapat tiga negara anggota CPOPC, yakni Indonesia, Malaysia, dan Honduras.
Sebelumnya, sebuah misi yang dipimpin bersama oleh Menko Perekonomian RI Airlangga Hartarto serta Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof yang difasilitasi oleh CPOPC melakukan pertemuan dengan para pemimpin politik EU di Brussels, akhir Mei 2023.
Dalam pertemuan tersebut, kedua menteri menyatakan keprihatinannya terkait EUDR yang baru disahkan dan menegaskan kembali pentingnya komoditas, khususnya sawit bagi perekonomian dan kesejahteraan rakyat di kedua negara, terutama bagi petani kecil.
Komisi Eropa menggarisbawahi bahwa kebijakan EUDR dibuat untuk merespons komitmen internasional dengan tujuan memastikan bahwa Eropa tidak akan mendorong deforestasi global melalui konsumsinya sendiri. Selain itu, EU meyakinkan negara produsen bahwa mereka akan terus terlibat dalam keseluruhan proses.
Komisi Eropa, Indonesia, dan Malaysia pun sepakat membentuk satuan tugas bersama untuk memperkuat kerja sama implementasi EUDR. Kesepakatan tersebut dicapai setelah Direktur Jenderal Lingkungan Komisi Eropa Florika Fink-Hooijer mengunjungi Indonesia dan Malaysia pada 26-28 Juni 2023, untuk mendiskusikan isu tersebut dengan pemerintah masing-masing negara.