REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong penguatan credit scoring eksternal dalam ekosistem peer-to-peer (P2P) lending.
Kepala Departemen Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Triyono mengatakan ketentuan mengenai credit scoring sudah diatur dalam Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022. Meski begitu, dia merekomendasikan untuk tetap ada pemeriksaan credit scoring dari pihak eksternal.
"Di POJK 10 sudah kita atur harus ada filtering berisiko dari masing-masing P2P lending. Tapi, tetap kita tidak boleh 100 persen mengandalkan itu," ujar Triyono usai kegiatan sosialisasi UU P2SK oleh Kadin Indonesia di Jakarta, Selasa (13/6/2023).
Triyono menjelaskan, menggunakan layanan di luar P2P lending yang bisa memberikan hasil lebih akurat bisa menjadi opsi yang lebih baik. Hal itu untuk mengurangi risiko gagal bayar yang kemudian berdampak pada macetnya pembayaran ke lender atau investor.
Meski begitu, ia mengakui pilihan menggunakan jasa credit scoring eksternal melibatkan banyak pertimbangan, terutama dari segi biaya.
"Mungkin ada sedikit tambahan biaya, tapi terkompensasi dari tingkat akurasi credit scoring-nya," kata Triyono.
Sementara itu, Triyono mengatakan tingkat risiko kredit secara agregat atau tingkat wanprestasi (TWP90) masih berada pada tingkat aman, yakni 2,82 persen per April 2023. Level itu naik dari sebelumnya 2,81 persen pada Maret 2023.
TWP90 adalah ukuran tingkat wanprestasi atau kelalaian penyelesaian kewajiban nasabah fintech di atas 90 hari sejak tanggal jatuh tempo. TWP90 menjadi ukuran kualitas pendanaan fintech.
OJK mencatat terdapat 24 perusahaan P2P lending yang memiliki TWP90 di atas 5 persen, bertambah satu perusahaan dari posisi Maret 2023 yang sebanyak 23 penyelenggara.
Sementara outstanding pembiayaan P2P lending tumbuh sebesar 30,63 persen secara tahunan (yoy) menjadi sebesar Rp 50,53 triliun per April 2023.