Jumat 09 Jun 2023 06:16 WIB

Kemenhub dan Tiga Konsultan Dilaporkan Tolak Kereta Cepat Beroperasi Agustus

Sertifikat kelayakan operasional Kereta Cepat belum ada, dan stasiun belum kelar.

Rangkaian kereta inspeksi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) melaju di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/2/2023).
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Rangkaian kereta inspeksi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) melaju di Tegalluar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (23/2/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan tiga konsultan dilaporkan menolak rencana Konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang didanai pemerintah Cina untuk memulai operasi komersial penuh layanan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) pada 18 Agustus 2023. Sebuah dokumen internal 'Progress Update' tertanggal 14 Mei 2023, menunjukkan, target operasi komersial KCJB sepertinya harus tertunda hingga Januari 2024.

Proyek senilai 7,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp 108,37 triliun itu merupakan bagian dari China's Belt and Road Initiative (BRI) yang memiliki panjang jalur 142 kilometer (km). KCJB dibangun oleh konsorsium perusahaan negara Indonesia dan Cina yang anggaran awalnya sudah membengkak 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 17,8 triliun dan meleset empat tahun dari jadwal semula.

Semula, KCJB direncanakan beroperasi tepat pada hari kemerdekaan RI dan dijadikan kesempatan bagi PDIP yang berkuasa untuk bahan kampanye Pemilu 2024. "Penundaan lebih lanjut hanya akan menjadi amunisi bagi pihak oposisi untuk menyerang," kata pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah kepada Reuters dikutip di Jakarta, Jumat (9/6/2023).

Baca: Laju Kereta Makin Cepat di Gapeka 1 Juni 2023

Menjelang peluncuran komersial yang diagendakan berlangsung pada 18 Agustus 2023, proyek terebut dilanda masalah baru. Dari dokumen 48 halaman, terlihat peserta Konsorsium Cina menginginkan sertifikat kelayakan operasional penuh untuk jalur tersebut, meskipun infrastruktur stasiun belum kelar.

Sebaliknya, Kemenhub, dan tiga konsultan Mott MacDonald, PwC, dan firma hukum lokal Umbra telah menyarankan, operasi komersial penuh dapat dimulai pada awal tahun depan. "Ada risiko target operasi komersial pada Agustus bisa tertunda untuk menyelesaikan semua konstruksi pada 31 Desember," kata laporan dalam bahasa Indonesia.

Molornya proyek KCJB juga berimbas ke keuangan PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), sebagai perusahaan konstruksi BUMN yang memiliki saham di konsorsium. Hingga kini, WIKA sudah melakukan pembayaran outstanding mencapai 381,75 juta dolar AS. Hal itu tentu saja menganggu proses restrukturisasi yang dijalankan BUMN tersebut

Baca: Rambu di Sejumlah Stasiun Kereta di Seoul Tersedia Bahasa Indonesia

Corporate Secretary WIKA Mahendra Vijaya mengatakan, perseroan memiliki kemampuan finansial untuk menyelesaikan sisa pekerjaan. Namun, juga membutuhkan konsorsium untuk membayar pekerjaan yang sudah selesai.

Pemerintah Indonesia disebut sedang bernegosiasi dengan Cina untuk mendapatkan tambahan pinjaman 560 juta dolar AS atau sekitar Rp 8,3 triliun dan meminta suku bunga 2,8 persen untuk porsi pinjaman dalam bentuk yuan. Permintaan itu lebih rendah dari tawaran China Development Bank (CDB) sebesar 3,46 persen, sebagaimana dokumen tertanggal 18 Mei 2023.

Pejabat Kemenko Marves, Septian Hario Seto, mengatakan, negosiasi utang sedang dilakukan dengan CDB, yang fokus membahas penurunan suku bunga. Menurut dia, KCJB direncanakan memulai uji coba gratis membawa penumpang pada pertengahan Agustus, dengan perjalanan berbayar diharapkan pada September dan stasiun yang belum selesai kemungkinan dituntaskan pada November 2023.

Kedutaan Besar China di Jakarta mengarahkan pertanyaan tentang tanggal operasi dan penerbitan sertifikat kelayakan kepada pemerintah Indonesia. "Saat ini, proyek tersebut sedang menjalani uji coba dan commissioning terpadu," kata juru bicara kedutaan, Kamis.

Adapun PwC menolak berkomentar. Konsorsium yang didukung China PT KCIC, Mott MacDonald, Umbra, CDB tidak menanggapi permintaan komentar yang diajukan Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement