REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kongres Amerika Serikat (AS) menyetujui penanggugan batas utang dan membuat negara adidaya itu lolos dari default atau gagal bayar. Ketua Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar lega dengan keputusan tersebut.
"Tentu ini membawa kelegaan dari sistem keuangan dunia yang dapat dipengaruhi," kata Mahendra dalam konferensi pers RDK Bulanan OJK, Selasa (6/6/2023).
Sebab, lanjut Mahendra, banyak pihak yang memiliki surat utang AS dengan nilai cukup besar. Beberapa di antaranya Jepang, China, Inggris, dan negara besar lainnya sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan pengaruh kepada stabilitas sistem keuangan global.
Mahendra menuturkan, keputusan kongres AS berlaku untuk dua tahun. "Artinya, peristiwa mengenai batas tadi itu tidak akan terulang tahun depan yang juga merupakan momen pemilu presiden, DPR, dan sebagian anggota senat AS. Pembahasan sudah dilakukan karena beberapa kali terjadi di AS namun disepakati ambang batas baru dan tidak terjadi default," kata Mahendra.
Ke depan, Mahendra memastikan persoalan yang terjadi di AS tersebut dapat menjadi pembelajaran. Dia menuturkan, OJK akan terus mencermati perkembangan dan soal kepemilikan surat utang AS hingga risiko kepada sistem kuangan Indonesia.
Sebelumnya, Presiden Joe Biden menandatangani undang-undang plafon utang negara, Sabtu (3/6/2023). Hal tersebut bertujuan untuk mencegah gagal bayar utang pemerintah federal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Biden berterima kasih kepada para pemimpin kongres dari Partai Demokrat dan Republik atas kemitraan mereka, sebuah pesan ramah yang kontras dengan dendam yang awalnya menjadi ciri perdebatan utang. "Tidak peduli seberapa keras politik kita, kita perlu melihat masing-masing bukan sebagai musuh, tetapi sebagai sesama orang Amerika," kata Biden dalam pesan video yang dirilis setelah penandatanganan.
Terakhir kali AS mendekati default adalah pada 2011. Kondisi tersebut memukul pasar keuangan dan menyebabkan penurunan peringkat kredit pemerintah untuk pertama kalinya serta mendorong biaya pinjaman negara.