Sabtu 03 Jun 2023 22:15 WIB

Diperkirakan Datang Juli, El Nino akan Berdampak pada Panen Padi

Pada 2019 Indonesia juga dilanda el nino, cuaca terasa sangat panas dari biasanya.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Endro Yuwanto
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah saat el nino melanda.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ilustrasi para petani memanen padi secara tradisional di sawah saat el nino melanda.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- El nino atau fenomena pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal di Samudera Pasifik bagian tengah dan The Souther Oscillation (ENSO) 2023 diperkirakan akan terjadi usai Juni 2023. Kepala Center for Climate Risk and Opportunity Management Asia Tenggara dan Pasifi (CCROM-SEAP) IPB University, Prof Rizaldi Boer, mengatakan el nino akan memberikan implikasi pada panen padi nasional.

Rizaldi menyebut, ENSO setelah Juni kemungkinannya menjadi 50 persen, di mana secara statistik dan dinamik menunjukkan kemungkinan Indonesia mengalami el nino relatif tinggi. Prakiraan hujan secara eksperimentas pada Januari hingga Maret dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan CCROM IPB pun relatif konsisten.

Baca Juga

“Ada keeratan hubungan antara lautan pasifik terkait ENSO di Indonesia, dengan kenaikan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik yang akan berpengaruh pada curah hujan di Indonesia,” ujar Rizaldi, Sabtu (3/6/2023).

Rizaldi mengungkapkan, pada 2019 Indonesia sempat dilanda el nino di mana saat itu cuaca terasa sangat panas dari biasanya. Sementara pada pada Juli 2023 berdasarkan Experimental Forecast CCROM IPB University, menunjukkan hampir seluruh wilayah pusat produksi padi, terjadi anomali hujan negatif, lebih rendah dari normal.

“Kecuali di sebagian Kalimantan dan Sulawesi, terutama di Papua. Pada April, hujan masih di atas 150 mm kecuali Bali dan NTB. Sedangkan Mei dan Juni umumnya di bawah 100 mm. Sehingga perlu ada pertimbangan modifikasi penanaman untuk komoditas dengan kebutuhan air yang banyak,” jelas Rizaldi.

Rizaldi menyebut, ada ancaman banjir dan kekeringan pada musim tanam 2023 yang cukup tinggi, terutama di wilayah Jawa dan Sulawesi Selatan. Bahkan, kata dia, potensi gagal panen jika tidak diantisipasi bisa mencapai 60 hektare karena kekeringan. Sementara penurunan produksi mencari 500 ribu ton.

Menurut Rizaldi, ancaman kekeringan pada Mei dan Juni bisa diantisipasi. Selain masih adanya surplus produksi dari Januari-Februari 2023 dibanding 2022 dan 2021 yang mencapai lebih dari 3 juta ton gabah kering giling.

“Perlu ada optimasi pemanfaatan kalender tanaman dan penyesuaian pada tingkat tapak. Pemetaan perkembangan luas tanam dan panen secara spasial dan regular dapat membantu penyesuaian informasi kalender tanaman ke tingkat tapak,” kata Rezaldi.

Selain itu, Rizaldi mengatakan, pemberdayaan petani dalam pemanfaatan informasi prakiraan cuaca dalam penyesuaian pola usaha tani juga perlu didorong. Bantuan saprotan juga terus dialirkan dengan memperhatikan kondisi prakiraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement