REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha Indonesia bersama Malaysia bakal melakukan joint mission ke Brussel, Belgia untuk menyampaikan keberatan atas kebijakan baru Uni Eropa bernama EU Deforestation Regulation (EUDR) yang dinilai menjegal sejumlah komoditas andalan ekspor Indonesia, termasuk sawit.
Kebijakan tersebut mendapat respons penolakan dari pelaku usaha sawit juga pemerintah Indonesia karena dapat berdampak negatif terhadap ekspor. Tak terkecuali jutaan petani sawit yang menggantungkan hidupnya selama ini dari menjual tandan buah segar.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menuturkan, segala upaya pemerintah terhadap kebijakan EUDR yang dinilai diskriminatif pun mendapat dukungan penuh dari pelaku usaha. "Gapki juga barusan selesai ikut hadir pertemuan di Kualalumpur untuk rencana joint mission Indonesia bersama Malaysia ke Brussel perihal EUDR pada 30 dan 31 Mei 2023," kata Eddy kepada Republika, Senin (22/5/2023).
Eddy menuturkan, Presiden RI Joko Widodo dalam beberapa pertemuan dengan Uni Eropa pun telah menyampaikan keberatan perihal EUDR. Sebab, kebijakan baru itu tak hanya berdampak ke sawit namun juga kopi, kakao, karet, dan kayu Indonesia meski secara nilai sawit yang terbesar.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, mengatakan, pihaknya bersama seluruh kementerian terkait terus memonitor perkembangan kebijakan EUDR yang baru diadopsi oleh Parlemen dan Dewan Eropa itu. Djatmiko menegaskan, regulasi EUDR tidak sejalan dengan prinsip dan kaidah aturan di Badan Perdagangan Dunia (WTO). Juga bertentangan dengan semangat kerja sama negara-negara dunia untuk mengatasi isu perubahan iklim baik dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs), Paris Agreement, maupun COP.
"Ini karena bersifat sepihak, tidak berdasarkan kesepakatan bersama dan menimbulkan persoalan baru, alih-alih membantu mengatasi isu lingkungan," kata Djatmiko.
Sepanjang regulasi tersebut disusun, pemerintah Indonesia punt elah menyampaikan nota keberatan resmi kepada Uni Eropa, baik kepada Komisi Eropa maupun masing-masing negara anggota. Pemerintah, kata Djatmiko, juga terus mempertanyakan kebijakan deforestasi itu di berbagai komite di WTO bersama sejumlah negara anggota lainnya.
"Pemerintah bersama 13 negara anggota WTO lainnya telah mengirimkan joint letter kepada WTO untuk menyampaikan keberatan atas kebijakan Uni Eropa," ujarnya.