Jumat 31 Mar 2023 18:33 WIB

Piala Dunia U-20 Batal, Industri Perhotelan Gigit Jari

PHRI masih menghitung potensi kerugian dari pembatalan.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Petugas membersihkan kaca di salah satu kamar hotel di Hotel Aston Pasteur, Jalan Dr Djunjunan, Sukajadi, Kota Bandung, Rabu (28/12/2022). Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat menargetkan tingkat okupansi pada momen libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 (Nataru) di Kota Bandung mencapai 80 persen dan Jawa Barat ditargetkan 60-65 persen. Republika/Abdan Syakura
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Petugas membersihkan kaca di salah satu kamar hotel di Hotel Aston Pasteur, Jalan Dr Djunjunan, Sukajadi, Kota Bandung, Rabu (28/12/2022). Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat menargetkan tingkat okupansi pada momen libur Natal 2022 dan Tahun Baru 2023 (Nataru) di Kota Bandung mencapai 80 persen dan Jawa Barat ditargetkan 60-65 persen. Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengaku, sejauh ini belum menerima laporan mengenai total kerugian sektor perhotelan akibat pembatalan gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia. Itu karena Piala Dunia U-20 masih dua bulan lagi digelar di beberapa kota.

"Dengan ketidakpastian yang ada, muncul beberapa perdebatan. Jadi baru bicara potensi belum soal booking atau pembayaran deposit, kami harap belum terjadi cancelation," ujarnya kepada Republika, Jumat (31/3/2023).

Baca Juga

PHRI, lanjut dia, belum mendapat informasi pasti terkait berapa banyak yang sudah meletakkan deposit. Juga belum mendapat laporan, mana saja hotel yang ditunjuk menjadi official partner Piala Dunia U-20 2023.

"Kalau sudah ada yang deposit, kita bicara dampak kerugiannya. Itu karena mau tidak mau harus mengembalikannya," jelas Maulana.

Menurutnya, pembatalan gelaran Piala Dunia U-20 di Indonesia berefek cukup besar bagi sektor perhotelan. Pertama, kehilangan potensi peningkatan okupansi. Maulana menjelaskan, acara besar seperti Piala Dunia berpotensi meningkatkan okupansi. Itu karena, olahraga sepak bola memiliki banyak peminat.

"Yang akan datang (ke Indonesia) bukan tim saja tapi juga supporter-nya. Itu akan jadi potensi cukup besar bagi perhotelan dan pariwisata pada umumnya, maka ada dampak kerugian di sana yaitu kerugian potensi," tutur dia.

Kedua, yakni terkait pemasaran. Setiap acara, kata dia, mempunyai efek luas atau multiplier effect ganda dari sisi promosi. Melalui suatu perhelatan, lanjutnya, sebuah negara bisa mendapatkan promosi besar, karena beberapa acara dinilai memiliki nilai berita cukup besar.

"Waktu G20 (misalnya), media yang datang belum tentu hanya yang diundang, tapi banyak media internasional meliput, termasuk piala dunia ini. Ada banyak hal yang jadi dampak," jelas Maulana.

Efek ketiga, sambung, berkaitan dengan image atau citra. Ia mennjelaskan, untuk mendapatkan kesempatan menjadi penyelenggara Piala Dunia tidak mudah, butuh waktu, usaha, dan biaya. Itu karena negara penyelenggara harus menerima persyaratan di antaranya menanggung semua konsekuensinya.

Di sisi lain, dalam gelaran Piala Dunia terdapat negara yang tidak sesuai dengan Indonesia yakni Israel. Maulana pun mempertanyakan, mengapa hal itu tidak dibahas di awal.

"Pas kita mau terima (jadi penyelenggara Piala Dunia U-20), kita tahu Israel main sehingga ada potensi negara tersebut menang atau hadir. Kenapa nggak dibahas duluan pada saat itu? Kenapa di menit terakhir baru dibahas?" Katanya.

Ia menduga ada kelemahan saat membaca kontrak, sehingga ketika berkomitmen menjadi penyelanggara Piala Dunia U-20 mengabaikan poin tersebut. Menurutnya hal itu berbahaya di masa mendatang, sebab bisa merusak citra negeri ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement