Selasa 21 Mar 2023 21:56 WIB

HKI Masih Sulit Jadi Agunan Perbankan

Hal ini karena nilai ekonomi HKI fluktuatif.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Lida Puspaningtyas
Seorang pengunjung melihat koleksi batik pada pameran batik nitik di Museum Tekstil, Jakarta, Ahad (23/10/2022). Pameran yang diprakarsai oleh Yayasan Batik Indonesia dan Museum Tekstil tersebut dapat mendorong daerah penghasil wastra untuk mengajukan hak kekayaan intelektual berupa indikasi geografis dengan menampilkan 80 kain batik, berlangsung hingga 12 November 2022.
Foto: ANTARA/Darryl Ramadhan
Seorang pengunjung melihat koleksi batik pada pameran batik nitik di Museum Tekstil, Jakarta, Ahad (23/10/2022). Pameran yang diprakarsai oleh Yayasan Batik Indonesia dan Museum Tekstil tersebut dapat mendorong daerah penghasil wastra untuk mengajukan hak kekayaan intelektual berupa indikasi geografis dengan menampilkan 80 kain batik, berlangsung hingga 12 November 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pengunaan Hak kekayaan intelektual (HKI) dijadikan sebagai aset bisnis digital dan jaminan kredit atau agunan dari perbankan saat ini masih sulit diwujudkan. Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Dr Sonny Dewi Judiansih mengatakan HKI memiliki hak kebendaan atau bisa bernilai ekonomi.

"Tapi, nilai ekonomi yang dicapai dalam sebuah produk HKI belum tentu tinggi karena sifatnya fluktuatif, jadi masih agak sulit bahwa kekayaan intelektual dijadikan jaminan (kredit atau agunan dari perbankan)," katanya disela-sela peluncuran buku "Menuju Notaris yang Proaktif dan Progresif Terhadap Perkembangan Hukum Nasional", yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Kenotariatan Unpad dan Ikatan Alumni Notariat (Ikano) Unpad, di Kota Bandung, Selasa (21/3/2023).

Baca Juga

Karena HKI sifatnya fluktuatif, kata dia, maka menjadi sangat riskan. Seharusnya, ada lembaga yang bisa menaksir berapa nilai HKI itu agar ada angka pasti dan jelas saat diagunkan.

"Sangat berbahaya (HKI) dijadikan jaminan. Ada misalnya seorang yang mencoba menjaminkan kekayaan intelektualnya. Tetapi masalahnya perbankan atau non perbankan mau menerimanya sebagai jaminan," kata Prof Sonny Dewi.

Menurutnya, berdasarkan data dari Buku "Notaris dan Kontrak Terkait Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual" karya Dr Ranti Fauza Mayana, Tisni Santika dan Zahra Cintana, sejauh ini pihak yang menjaminkan HKI sebagai jaminan pinjaman masih minim.

"Kenapa masih minim, karena jaminannya apa? Kalau misalnya suatu perjanjian di-cover dengan jaminan. Nah, kalau jaminan itu tidak ada harganya kan tidak mungkin," katanya.

Buku tersebut, kata Prof Sonny Dewi, memiliki premis tentang pengembangan dan optimalisasi kekayaan intelektual dalam bisnis, yang tidak terlepas dari kebutuhan pembiayaan. Namun, praktiknya penyaluran pembiayaan dari lembaga keuangan, khususnya perbankan masih menemui sejumlah tantangan.

"Salah satunya terkait jaminan di mana perbankan memiliki preferensi kepada jaminan konvensional seperti tanah, bangunan dan tagihan sektor ekonomi kreatif didominasi oleh intellectual capital," katanya.

Tapi, Prof Sonny Dewi memprediksi di masa depan implementasi HKI sebagai jaminan kredit bisa saja dilakukan.

"Namun untuk kondisi sekarang, menurut saya masih sulit," katanya.

Prof Sonny mencontohkan, di negara lain seperti Amerika Serikat implementasi HKI sebagai jaminan kredit bisa dilakukan. Karena segala sesuatu terkait kekayaan intelektual sudah terlindungi dan memiliki kepastian hukum.

Sementara itu Ketua Ikano Unpad Dr Ranti Fauza Mayana berharap peluncuran tiga menjadi wujud nyata bahwa notaris beradaptasi dengan perkembangan di masyarakat. Tiga buku yang diluncurkan, yakni "Menuju Notaris yang Proaktif dan Progresif Terhadap Perkembangan Hukum Nasional", "Implementasi Akta Perjanjian dan Pra Perkawinan dan Pasca Perkawinan oleh Notaris", serta "Notaris dan Kontrak Terkait Pembiayaan Berbasis Kekayaan Intelektual".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement