REPUBLIKA.CO.ID, SAN FERNANDO -- Badan Statistik Argentina mengatakan inflasi tahunan Argentina pada bulan Februari tahun ini melewati 100 persen. Ini merupakan pertama kalinya inflasi menyentuh angka tiga digit sejak hiperinflasi pada 1991, tiga dekade lebih yang lalu.
Data pemerintah Argentina menunjukkan inflasi selama 12 bulan mencapai 102,5 persen di bulan kedua tahun ini. Lebih tinggi 6,6 persen kenaikan bulanan dan 13,1 persen kenaikan tahunan Indeks Harga Konsumen (CPI).
Dampak inflasi di pasar-pasar, toko-toko, dan rumah tangga Argentina sangat terasa. Tingginya inflasi menguras kantong masyarakat.
"Tidak ada yang tersisa, tidak ada uang, masyarakat tidak memiliki apa-apa, jadi bagaimana mereka membeli," kata seorang pensiunan berusia 74 tahun, Irene Devita yang sedang memeriksa harga di pasar di San Fernando, Selasa (14/3/2023).
Dengan inflasi yang begitu tinggi hampir setiap minggu harga barang-barang berubah.
"Kemarin saya datang dan meminta tiga tangerine, dua jeruk, dua pisang dan setengah kilo tomat, ketika penjualnya memberitahu saya total harganya 650 peso atau 3,22 dolar AS, saya meminta dia mengeluarkan semuanya kecuali tomat karena saya tidak punya cukup uang," kata Devita.
Upaya pemerintah menekan harga sia-sia. Inflasi melemahkan daya beli masyarakat, simpanan dan pertumbuhan ekonomi negara serta peluang partai berkuasa mempertahankan kekuasaan dalam pemilihan umum tahun ini.
Inflasi satu-satunya hal yang dibicarakan masyarakat Argentina. Masalah ini menimbulkan rasa frustasi dan kemarahan terutama karena kenaikan upah tidak mengimbangi kenaikan harga meski pemerintah sudah menerapkan skema membatasi harga dan ekspor gandum untuk mendorong pasokan domestik.
"Saya lelah, sangat lelah dengan semua ini, politisi bertikai saat masyarakat mati kelaparan, ini tidak bisa dibiarkan terus," kata salah satu warga Patricia Quiroga yang sedang mengantri berbelanja. Ia mengatakan inflasi 100 persen hampir tidak bisa ditanggung.