REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGE) telah menjadi perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Melalui mekanisme penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO), PGE meraup dana segar Rp 9,05 triliun.
Pada perdagangan perdana, saham PGE mayoritas bergerak di zona merah. Setelah sempat dibuka menguat di awal sesi, saham PGE kemudian anjlok dan nyaris menyentuh batas Auto Rejection Bawah (ARB).
Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menilai, IPO PGE menunjukkan sentimen yang berlebihan dari publik. Hal tersebut ditandai dengan kelebihan permintaan di angka Rp 875 per lembar.
Dari sisi prospek, menurut Teguh, geotermal adalah salah satu bisnis di sektor energi yang memiliki tingkat pengembalian investasi rendah dengan risiko yang sangat tinggi. Bahkan, kemungkinan gagal bisa mencapai 60 persen-75 persen.
"Maka investasi di pengembangan geotermal adalah high risk investment," kata Teguh melalui siaran pers akhir pekan lalu.
Teguh menjelaskan, proses bisnis geotermal mulai dari survei awal, penyiapan lahan, perizinan, eksplorasi, hingga pengembangan pembangkit listrik bisa membutuhkan waktu 7-9 tahun. Ini waktu yang cukup lama dan berisiko tinggi dalam bisnis.
Lebih lanjut, Teguh menjabarkan, investasi geotermal adalah investasi jangka panjang yang membutuhkan mitra strategis dalam pengembangan awal. Menurutnya, langkah IPO yang dilakukan PGE justru kurang tepat.
"Kesalahan strategis yang dilakukan adalah PGEO mementingkan pendanaan jangka pendek dalam kondisi yang belum siap," kata Teguh.
Di sisi lain, risiko kegagalan investasi geotermal cukup tinggi baik dari sisi teknis maupun nonteknisnya, seperti ancaman kerusakan lingkungan, resettlement, atau bahkan harus mengorbankan situs-situs di lokasi eksplorasi dan permasalahan sosial.
Teguh mengatakan, investor yang akan masuk menjadi strategic partner akan berpikir dua kali jika PGE sudah melantai di bursa. Naiknya value setelah IPO akan menyulitkan pengembangan bisnis kemitraannya.