Rabu 08 Feb 2023 07:48 WIB

Jumlah Orang Miskin akan Naik, Ini Penyebabnya

Angka anggaran perlindungan sosial dari 2013 hingga 2022 meningkat cukup tinggi.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
 Orang-orang melihat cakrawala kota dari daerah kumuh di Jakarta, Selasa (17/1/2023). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 26,3 juta orang (9,57 persen dari populasi) hidup di bawah garis kemiskinan per September 2022. Angka tersebut meningkat 0,03 persen dibandingkan Maret 2022, tetapi juga mengalami penurunan year-on-year dibandingkan September 2021 yang mencapai 26,5 juta.
Foto: EPA-EFE/BAGUS INDAHONO
Orang-orang melihat cakrawala kota dari daerah kumuh di Jakarta, Selasa (17/1/2023). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), lebih dari 26,3 juta orang (9,57 persen dari populasi) hidup di bawah garis kemiskinan per September 2022. Angka tersebut meningkat 0,03 persen dibandingkan Maret 2022, tetapi juga mengalami penurunan year-on-year dibandingkan September 2021 yang mencapai 26,5 juta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan, jumlah orang miskin di Tanah Air akan naik pada Maret 2023. Itu dikarenakan dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada September tahun lalu.

"Kenaikan harta BBM yang tetap dirasakan mulai Oktober sampai Januari 2023. Maka efeknya akan terjadi pada Maret 2023, angka kemiskinan meningkat," ujar Peneliti Indef Abdul Manap Pulungan dalam konferensi pers virtual, Selasa (7/2/2023).

Baca Juga

Kenaikan harga beras dan kelangkaan Minyakita pun, lanjutnya, turut menekan masyarakat miskin. Berkaca pada 2007 sampai 2022, angka kemiskinan Indonesia polanya selalu mengalami penurunan walau ada sedikit peningkatan.

Peningkatan itu terjadi disebabkan oleh gejolak ekonomi global dan kenaikan harga BBM. "Utamanya kenaikan harga BBM yang pada akhirnya berpengaruh karena tidak diantisipasi dengan baik terhadap jumlah penduduk miskin," jelas dia.

Jika dilihat dari data, angka kemiskinan 2022 mirip seperti 2007, berbeda 220 ribu jiwa lebih rendah. Jumlah tersebut tidak signifikan karena pemerintah juga menggelontorkan dana yang besar untuk memberikan bantuan pada penduduk miskin.

Abdul mengatakan angka anggaran perlindungan sosial dari 2013 hingga 2022 meningkat cukup tinggi. Terutama pada 2020 naik hingga 61 persen karena ada pandemi Covid-19. Sementara di 2022 naik 17,27 persen.

Sebelumnya, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono menyebutkan, angka kemiskinan nasional pada 2022 sebesar 9,50 persenan. Sementara persentase kemiskinan ekstremnya sebesar 2,04 persen.

Pemerintah menargetkan, angka kemiskinan pada 2024 mendatang turun menjadi tujuh persen. Lalu ditargetkan angka kemiskinan ekstrem pada tahun tersebut bisa menyentuh nol persen.

Margo menilai, akan sulit mencapai target itu. "Melihat tren data, sulit capai target, namun demikian perlu ada perbaikan sistematik tata kelola kemiskinan, termasuk tata kelola data," ujarnya dalam Launching Reformasi Birokrasi BPS Tahun 2023 dan Hasil Long Form Sensus Penduduk 2020 di Menara Danareksa, Jakarta, Senin (30/1/2022).

Meski sulit, kata dia, pemerintah harus berupaya melakukan percepatan dan tata kelola baru agar target 2024 bisa dicapai. BPS, lanjutnya, kemudian menyandingkan data kemiskinan ekstrem di 212 kabupaten atau kota.

"Pada Maret 2021 kemiskinan ekstrem 3,61 persen. Lalu Maret 2022 turun menjadi 2,76 persen," tuturnya.

Kemudian, lanjut dia, dari miskin ekstrem menjadi miskin angkanya 2,91 persen pada 2022. Hal tersebut dinilainya sebagai bagian dari keberhasilan pemerintah pada tahun lalu.

Di sisi lain, sambungnya, terdapat masyarakat pada 2021 di posisi miskin ekstrem lalu pada 2022 masih sama, datanya sebesar 0,70 persen. Ada pula yang pada 2021 di posisi miskin namun pada 2022 menjadi miskin ekstrem, angkanya sebesar 2,06 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement