REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hingga saat ini Kementerian ESDM belum bisa memastikan kapan payung hukum soal penyaluran barang subsidi keluar. Bolak balik izin prakasa dari revisi Peraturan Presiden 191 Tahun 2014 beralih dari satu kementerian ke kementerian lain.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Tutuka Ariadji menjelaskan, tahun lalu ternyata izin prakasa revisi perpres tersebut tidak berada di tangan Kementerian ESDM. Baru di pertengahan tahun berada di Kementerian ESDM dan baru menyelesaikan segala draf dan teknis perubahan pada awal tahun ini.
"Saat ini masih proses administrasi dan kami masih menunggu statement resmi dari yang berwenang untuk bisa kita lanjutkan," ujar Tutuka saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (30/1).
Tutuka menjelaskan, pihaknya sudah menyelesaikan draf revisi dan sampai proses substansi per pasal. "Sayangnya, kita belum bisa kasih tahu detailnya karena masih menunggu keputusan apakah draf kita bisa dilanjutkan atau enggak," tambah Tutuka.
Namun, Tutuka tak menampik hingga saat ini segala uji coba penyaluran yang dilakukan pemerintah dan Pertamina akan tetap dilakukan. Baik uji coba pembelian Pertalite melalui aplikasi My Pertamina maupun uji coba pembelian LPG menggunakan KTP. Kata dia, itu salah satu cara pemerintah untuk memastikan tak ada masyarakat miskin yang tertinggal.
Sebab, untuk bisa menyalurakn subsidi BBM dan LPG, pemerintah mengacu pada data P3KE dan DTKS. "Kita pakai dua data itu, nah saat ini kita belum membatasi per orang. Jadi masyarakat yang memang tidak terdata tapi ingin membeli barang subsidi dan memang memerlukan bisa mendaftarkan diri ke kami lalu kita masukan ke sistem informasi," ujar Tutuka.
Bahkan di tahun ini, ia memastikan belum bisa mengimplementasikan penyaluran barang subsidi sesuai payung hukum yang akan diubah itu. "Tahun ini kita fokus mendata dulu, nggak bisa langsung memang harus gradual. Kita data dulu biar kita bisa punya profil data pembeli," ujar Tutuka.
Dari profiling data tersebut, kata dia pemerintah bisa mengkaji kembali indikator miskin dan orang yang berhak mengkonsumsi barang subsidi. "Kelihatannya masih tahun depannya lagi ini. Kita rapikan datanya, kita verifikasi lagi, baru nanti itu data yang kita pakai," tambah Tutuka.
Data Kementerian ESDM mencatat realisasi subsidi energi pada tahun 2022 mencapai Rp 157,6 triliun. Realisasi ini memang lebih rendah dari yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp 211,1 triliun. Dari realisasi tersebut, untuk subsidi BBM dan LPG menyedot Rp 97,8 triliun.
Sedangkan pada 2023, pemerintah menganggarkan RP 209,9 triliun untuk subsidi energi. Khusus untuk subsidi BBM dan LPG, pemerintah memperkirakan butuh Rp 139,4 triliun.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, tahun lalu memang terjadi penurunan realisasi subsidi energi. Dengan kondisi harga minyak dunia yang melambung tinggi di awal 2022 memaksa pemerintah mengubah alokasi subsidi energi. Namun, faktanya di kuartal ketiga dan keempat 2022, justru pergerakan harga minyak dunia menurun disusul nilai tukar rupiah yang menurun juga.
"Terutama penurunan ini, kita lihat di BBM, dan elpiji ini tidak se parah seperti yang kita perkirakan sebelumnya karena adanya di 2022 asumsi crude kita yang tadinya tinggi, ternyata menjelang kuartal tiga dan empat terjadi penurunan," ujar Arifin.
Namun, kata Arifin tahun ini pemerintah tak berani ambil risiko untuk menurunkan anggaran subsidi, mengingat intensitas perang Rusia-Ukraina yang masih berlangsung dan sewaktu waktu dapat mengatrol harga minyak dunia.
"Kita masih impor crude dan BBM, kita impor juga LPG. Pada 2023, kita memperkirakan kemungkinan alokasi subsidinya cukup besar karena masih ada konstelasi konflik yang belum selesai, jadi ini akan memengaruhi supply demand minyak mentah," ujar Arifin.