REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Head of Education Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Latasha Safira menyebut pendidikan perubahan iklim perlu diintegrasikan ke dalam Kurikulum Merdeka.
“Perlunya integrasi pendidikan perubahan iklim ke dalam kurikulum mengingat kerentanan posisi geografis Indonesia yang rentan terhadap bencana alam,” ungkap Latasha Safira berdasarkan rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (22/1/2022).
Latasha menambahkan, selain karena kerentanan posisi geografis, selama ini, pendidikan perubahan iklim dalam sekolah formal di Indonesia dapat ditemukan sebagai topik atau hanya bagian dari sebuah bab dalam pelajaran ilmu pengetahuan alam. Pada kenyataannya, perubahan iklim jauh lebih kompleks untuk dipersempit dalam satu bab, karena dampaknya memiliki konsekuensi sosial, politik dan ekonomi juga.
Terintegrasinya pendidikan perubahan iklim ke dalam Kurikulum Merdeka juga perlu dilakukan untuk memberikan perspektif mengenai keberlanjutan kepada siswa sedari dini. Keberlanjutan bukanlah sesuatu yang mudah dipahami dan diresapi dalam satu malam.
Keberlanjutan memiliki arti yang luas dan tidak hanya mengenai lingkungan. Dibutuhkan upaya yang terus menerus untuk membuat perspektif berkelanjutan tertanam dan terefleksikan ke dalam perbuatan.
Indonesia membutuhkan pandangan dan strategi yang lebih komprehensif untuk memitigasi tantangan yang akan datang akibat perubahan iklim. Oleh karena itu, strategi nasional untuk mitigasi perubahan iklim harus juga dimasukkan dalam RPJMN 2025-2030, dimana pendidikan perubahan iklim sebagai tindakan pencegahan dimasukkan.
Contohnya, Kurikulum Merdeka dapat mendorong guru untuk menerapkan “project based learning”, dimana siswa dapat belajar melalui penyelesaian suatu proyek atau kegiatan nyata. Siswa ditantang untuk bereksplorasi, meneliti, menganalisa masalah dan mencari solusi.
Dengan demikian, siswa dapat kesempatan untuk memimpin dan menjalankan proyek untuk menanggapi masalah terkait perubahan iklim, seperti kompetensi recycling, kampanye dan penanaman kebun. Metode belajar tersebut dapat memfasilitasi pengalaman belajar langsung dan memberdayakan siswa untuk menjadi agen perubahan untuk aksi iklim di sekolah dan komunitasnya juga.
Namun, disamping ilmu tentang dampak perubahan iklim, siswa juga harus mengembangkan keterampilan seperti pemecahan masalah, berpikir kritis, kerja tim, inovasi dan negosiasi agar mereka dapat mempraktekkan pengetahuan mereka, mampu beradaptasi terhadap perubahan dan menjadi pembelajar yang tangguh.
“Perubahan iklim tidak bisa lagi diabaikan. Kita harus mengambil sikap preventif dengan mendidik kaum muda dengan informasi akurat agar mereka dapat memahami perubahan iklim yang terjadi sekarang dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga, merawat dengan sepenuh hati juga berakhlak kepada alam dan bumi kita,” ucapnya.