Kamis 12 Jan 2023 17:12 WIB

MUI: Ketepatan Halal itu Mutlak Meski ada Percepatan

Perlu ditegaskan kembali halal itu utuh. Kalau masih ada yang kurang, maka syubhat.

Pengunjung melintas di dekat logo halal saat Festival Halal Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (14/12/2022). BPJPH menggelar Festival Halal Indonesia untuk  mendukung dan berperan serta aktif dalam menumbuhkan ekosistem halal di Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-5 BPJPH. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung melintas di dekat logo halal saat Festival Halal Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (14/12/2022). BPJPH menggelar Festival Halal Indonesia untuk mendukung dan berperan serta aktif dalam menumbuhkan ekosistem halal di Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-5 BPJPH. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Niam menyatakan bahwa pihaknya mendukung program Sertifikasi Halal yang digalakkan oleh Pemerintah. Sertifikasi halal ini dengan tetap mengutamakan sisi ketepatan.

"Penyelenggaraan penetapan kehalalan suatu produk itu mutlak tidak bisa ditawar. Kita mendukung percepatan sertifikasi halal, akan tetapi jangan sampai mengorbankan ketepatan demi mencapai target tersebut," ujar Niam dalam Halaqah Mingguan Infokom MUI yang dipantau dari Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Baca Juga

Niam mengatakan upaya pemerintah dalam mendukung kinerja ekonomi masyarakat yakni dengan memasukkan UU Jaminan Produk Halal ke dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Oleh karena itu, kata dia, MUI secara serius menyiapkan tata kelola dan perbaikan penyelenggaraan sidang halal guna mendukung program Pemerintah. Upaya ini dibuktikan oleh MUI pada 2022 yang telah melakukan sebanyak 105 ribu sidang penetapan halal.

"Kadang Pemerintah memiliki kehendak untuk percepatan, misalnya halal 50 persen dulu baru nanti diproses secara bertahap. Perlu ditegaskan kembali yang namanya halal itu utuh. Kalau masih ada yang kurang, itu masih syubhat dan belum bisa ditetapkan kehalalannya," kata dia.

Selain itu, dia menyoroti sertifikat halal yang dikeluarkan hanya karena pengakuan sepihak dari pelaku usaha tanpa penetapan kehalalan. Sebab, menurutnya, kehalalan menyangkut soal terminologi agama bukan sekadar standar administratif belaka.

Niam menyatakan tanggung jawab MUI hanya ada dalam hal kehalalan produk yang ditetapkan oleh MUI sendiri. Apabila produk yang ditetapkan di luar sidang fatwa MUI, pihaknya tidak bertanggung jawab tentang halal atau tidaknya produk tersebut.

"Misalnya Komisi Fatwa MUI menyatakan tidak halal, kemudian si pelaku usaha bergerak ke Komisi Fatwa lembaga lain, secara politik hukum tidak diambil karena akan melahirkan ketidakpastian hukum," kata dia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement