REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekosistem pertembakauan ditekan karena adanya dorongan revisi PP 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Adapun revisi tersebut sedang ramai dibahas karena masuk ke dalam regulasi prioritas yang akan dibahas pada 2023, bersama dengan puluhan regulasi lainnya dalam Keppres Nomor 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023.
Sekjen Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan keberadaan PP 109/2012 masih mumpuni dan mampu mengatur ekosistem pertembakauan dengan baik. Adapun poin usulan yang didorong oleh Kementerian Kesehatan secara jelas telah tercantum dalam PP 109/2012.
Pasal 23 PP secara tegas menyebutkan pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak di bawah usia 18 tahun. Kawasan Tanpa Rokok yang termaktub di dalam Pasal 49. Kemudian, pengaturan iklan ruangan yang telah secara rinci diatur dalam Pasal 31. Aturan ketat terkait merek ataupun aktivitas produk dalam Pasal 37 serta poin terkait sponsorship yang secara jelas diatur dalam pasal 47 PP 109/2012.
"Seluruh elemen ekosistem pertembakauan telah dan selalu mentaati PP 109/2012. Dan, industri hasil tembakau selalu berperan aktif dalam melakukan edukasi dan sosialisasi ke publik mengenai aturan yang ada," ujarnya, Kamis (29/12/2022).
Menurutnya indikator dan justifikasi revisi regulasi sedang didorong oleh Kementerian Kesehatan perlu ditinjau ulang. Pertama, prevalensi perokok anak digadang- gadang menjadi faktor revisi PP 109/2012 segera dilakukan.
Kementerian Kesehatan selalu mengacu kepada data Riskesdas 2018 yang menyebutkan jumlah prevalensi perokok anak Indonesia berada angka 9,1 persen. Kementerian Kesehatan juga menyebut angka prevalensi perokok anak akan naik.
Hal tersebut sangat kontradiktif dengan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan prevalensi perokok anak di bawah 18 tahun sudah turun selama lima tahun terakhir. Data resmi BPS menunjukkan prevalensi perokok umur di bawah 18 tahun telah turun menjadi 3,44 persen pada 2022, dari angka 3,69 persen pada 2021.
Kedua, Kementerian Kesehatan belum pernah mengomunikasikan kepada publik terkait efektivitas program-program yang dilaksanakan guna menurunkan prevalensi perokok. “Layanan berhenti merokok yang seharusnya menjadi kunci keberhasilan program untuk menurunkan prevalensi perokok tidak pernah disampaikan capaiannya. Edukasi preventif untuk mencegah anak agar tidak merokok juga tidak pernah terdengar," ucapnya.
Begitu juga dengan berbagai program upaya menurunkan prevalensi perokok dirasa tidak pernah menyentuh masyarakat. Termasuk penerapan Kawasan Tanpa Rokok yang belum pernah ada penilaian valid dan akurat atas capaiannya setiap kota maupun daerah.
“Hal-hal mengenai ekosistem pertembakauan, semuanya telah secara jelas dan ketat diatur dalam PP 109/2012. Oleh karena itu, desakan Kemenkes untuk mendorong revisi regulasi tersebut sangat tidak berdasar dan hanya digunakan sebagai justifikasi mereka untuk mendorong revisi regulasi,” ucapnya.
Hananto menekankan seluruh elemen ekosistem pertembakauan tidak anti-regulasi dan selalu berharap pemangku kepentingan terkait selalu dilibatkan dalam proses perumusan regulasi sehingga sama-sama mampu menjalankan implementasinya dengan baik.
“Sebagai pihak yang terdampak atas keputusan sebuah regulasi, kami menghimbau pemerintah untuk mengedepankan asas keadilan dan keberimbangan. Regulasi harus disusun berdasarkan kesepakatan bersama. Dorongan untuk merevisi sebuah regulasi pun harus memuat aspek harmonisasi agar tidak bertentangan dengan peraturan lainnya,” ucapnya.
“Yang terjadi selama ini di ekosistem pertembakauan, kami hanya sekadar diberi tahu, tidak dilibatkan secara utuh. Termasuk dalam proses dorongan revisi PP 109/2012,” ucapnya.
Hananto berharap pemerintah mengkaji ulang keputusan untuk merevisi PP 109/2012 yang masih relevan dan merupakan induk regulasi yang mengatur seluruh siklus ekosistem pertembakauan di Indonesia.
“Pemerintah sebagai regulator harus bersikap adil dan netral. Jangan sampai regulasi yang lahir tidak komprehensif dan berujung pada upaya mematikan ekosistem pertembakauan. Ingat, ada 24 juta penghidupan warga Indonesia yang menggantungkan mata pencahariannya termasuk ultramikro UMKM yang merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia,” ucapnya.