Jumat 16 Dec 2022 16:09 WIB

Uni Eropa Diminta Hormati Indonesia Terkait Hilirisasi Nikel

Oleh karena itu, Indonesia telah dan akan terus menerapkan kebijakan hilirisasi.

Proses pembakaran bijih nikel (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Proses pembakaran bijih nikel (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Uni Eropa Vincent Piket telah menyatakan pihaknya mendukung perekonomian Indonesia, namun sesuai dengan aturan hukum internasional. Hal ini terkait hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel (nickle ore), Indonesia mesti mematuhi aturan-aturan WTO.

Menanggapi hal tersebut, salah satu pengusaha muda sektor minerba asal Sulawesi Tenggara (Sultra) sekaligus Pengurus Badan Hubungan Legislatif Kadin Indonesia ini, Muhammad Fajar Hasan menyayangkan pernyataan Vincent Piket di media massa, bahwa Indonesia  harus taati aturan WTO. 

Baca Juga

Menurut Fajar, Indonesia masih melakukan banding atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa atau Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO) tentang kebijakan pemerintah Indonesia terkait larangan ekspor nikel yang disengketakan oleh Uni Eropa. 

“Perlu diketahui, bahwa posisi Indonesia dan Uni Eropa di forum panel WTO setara, karenanya Uni Eropa harus menghormati Indonesia, jangan terkesan mendikte Indonesia, sementara proses sengketa masih berlangsung. Uni Eropa seolah-olah sudah merasa menang. Padahal, faktanya putusan WTO tersebut belum final, karena Indonesia masih melakukan upaya banding. Dalam tata krama diplomatik, seorang Dubes, tidak etis mengeluarkan pernyataan seperti itu," kata Fajar, Kamis (15/12/2022).

Lebih lanjut Wakil Bendahara Umum ICMI Pusat  ini mengatakan, Dubes Uni Eropa mengeluarkan pernyataan yang mendahului putusan final WTO, dapat dimaknai sebagai upaya membangun opini dan mengintervensi WTO. Seharusnya, Uni Eropa menahan diri, menunggu putusan final WTO. Jangan sampai proses sengketa yang sedang berjalan di WTO, direduksi oleh narasi propaganda Uni Eropa, yang mengandung pesan menyudutkan Indonesia. 

“Kami berharap WTO bersikap adil dan tidak terpengaruh oleh upaya agitasi Uni Eropa. WTO harus bersikap imparsial dan netral, dengan memberikan kesempatan yang setara kepada setiap negara anggota dan badan dunia yang bersengketa," ujarnya.

Berikutnya, menurut dia, Uni Eropa mestinya menghormati posisi Indonesia sebagai tuan rumah atau pemilik kandungan komoditas nikel terbesar di dunia, dimana saat ini sedang membangun ketahanan ekonomi nasionalnya salah satunya berupa pengelolaan komoditas nikel di dalam negeri melalui program hilirisasi pengelolaan sumber daya alam yang sedang berjalan. Indonesia sangat memahami bahwa era ini perdagangan antarnegara sangat terbuka, tidak lagi mengisolasi diri melalui sistem ekonomi tertutup. 

“Kebutuhan barang dan jasa antarnegara sudah saling terkoneksi, komoditas suatu negara dapat dirasakan kemanfataanya oleh negara lain. Tetapi, untuk saat ini, Indonesia terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan nikel masih fokus di dalam negeri, tidak untuk ekspor. Setiap negara di belahan bumi ini, pasti mendahulukan kepentingan nasionalnya, dan membangun kemandirian ekonomi domestik terlebih dahulu, Uni Eropa seharusnya  menghormati kepentingan dalam negeri Indonesia," ungkap Fajar.

Pengurus Pusat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia tentang moratorium ekspor nikel, sejalan dengan kepentingan nasional dan aspirasi rakyat. Rakyat telah merasakan manfaat dan efek berantai dari kebijakan nasional hilirisasi pengeloaan sumber daya alam, diantaranya, pertumbuhan ekonomi meningkat, khususnya bagi daerah dengan kandungan nikel melimpah. 

Program hilirisasi menopang pembangunan smelter existing sebanyak  82 smelter (berdasarkan data Kementerian Peridustrian RI). Dengan rincian 35 sudah beroperasi, 30 tahap konstruksi, dan 17 tahap Feasibility Study, mayoritas berada di Sulawesi dan Maluku Utara. 

“Uni Eropa tidak boleh mengabaikan situasi ini, bahwa ada kepentingan nasional Indonesia lebih besar dan prioritas, sehingga pengelolaan nikel masih bertumpu di dalam negeri, tidak diekspor," kata dia. 

Seperti dilansir dari Antara, pemerintah secara resmi sudah mengajukan banding atas putusan WTO tersebut sebagai bentuk pembelaan lanjutan atas laporan final panel pada 17 Oktober 2022 lalu yang menyatakan Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dalam sengketa yang terdaftar pada dispute settlement (DS) 592.

Presiden Joko Widodo memastikan Pemerintah Indonesia akan mengajukan banding atas kekalahan dalam sengketa dengan Uni Eropa (EU)di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah nikel.

"Saya sampaikan ke menteri, banding," kata presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional Investasi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Presiden menegaskan Indonesia tak akan menyetop kebijakan hilirisasi terhadap nikel dan kekayaan alam lainnya. Bahkan, setelah larangan ekspor bahan mentah nikel yang diterapkan sejak 2020, dia mengatakan Pemerintah selanjutnya akan melarang bahan mentah bauksit.

"Setelah itu, bahan-bahan yang lainnya, termasuk urusan yang kecil-kecil, termasuk kopi. Usahakan jangan sampai diekspor dalam bentuk bahan mentah," kata presiden.

Kebijakan ekspor bahan mentah yang telah berlangsung selama puluhan tahun, katanya, tidak memberikan manfaat maksimal bagi Indonesia.

Padahal, menurut dia, Indonesia memiliki kekayaan alam berupa bahan pertambangan, pertanian hingga perkebunan yang melimpah. Kekayaan alam itu seharusnya dioptimalkan melalui hilirisasi guna meningkatkan kemakmuran rakyat.

Oleh karena itu, Indonesia telah dan akan terus menerapkan kebijakan hilirisasi. Presiden Jokowi juga memerintahkan jajarannya untuk terus mencari investor agar pendanaan dalam program hilirisasi dapat mencukupi.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement