Jumat 16 Dec 2022 09:43 WIB

Pilihan Saham Cuan saat Suku Bunga The Fed Naik Lagi

Suku bunga The Fed naik jadi yang tertinggi sejak krisis Subprime Mortgage

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. Tren kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2023. Pada bulan ini, bank sentral AS tersebut baru saja menaikkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 4,25 - 4,5 persen.
Foto: ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pekerja melintas di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. Tren kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2023. Pada bulan ini, bank sentral AS tersebut baru saja menaikkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 4,25 - 4,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tren kenaikan suku bunga The Fed diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga tahun 2023. Pada bulan ini, bank sentral AS tersebut baru saja menaikkan suku bunga acuan 50 bps menjadi 4,25 - 4,5 persen. 

Ini sekaligus menjadi suku bunga tertinggi sejak 2007 saat krisis subprime mortgage. Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih, mengatakan kenaikan suku bunga ini akan sangat mempengaruhi pasar keuangan.

Keputusan The Fed menaikkan suku bunga membuat beberapa bank sentral melakukan kebijakan yang sama termasuk Indonesia. Bank Indonesia (BI) telah mengikuti langkah The Fed tercermin untuk keempat kalinya secara berturut turut.

Hingga di pertemuan Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan November suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) berada pada level 5,25 persen, atau naik 50 bps dari RDG bulan lalu. Jika dihitung, spread suku bunga BI dan The Fed saat ini hanya sebesar 75 bps. 

"Oleh karena itu, BI diprediksi akan tetap mengikuti langkah The Fed untuk menaikkan suku bunga di pekan depan demi menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mencegah keluarnya modal di pasar keuangan seperti saham dan obligasi, ditengah imbal hasil obligasi Amerika Serikat (AS) yang lebih menarik," kata Ratih, Kamis (15/12). 

Di pasar ekuitas, asing tercatat net sell  Rp 6,31 triliun secara mingguan dan dalam satu bulan terakhir mencatatkan net sell sebesar Rp 11,13 triliun. Kenaikan suku bunga The Fed yang memicu depresiasi nilai tukar rupiah turut berdampak pada imported inflation.

Emiten yang menggunakan bahan baku impor akan tertekan terhadap selisih kurs. Emiten yang menerbitkan global bond juga akan memiliki forex losses yang semakin besar dan akan menyebabkan profitabilitas  menurun. 

The Fed berpotensi melanjutkan kenaikan suku bunga hingga tahun 2023 dengan kemungkinan total kenaikan 75 bps pada periode tersebut. Hal ini sejalan dengan tingkat inflasi tahunan AS masih tinggi sebesar 7,1 persen di bulan November 2022.

Walaupun telah melandai dari bulan sebelumnya yang tercatat 7,7 persen, angka inflasi tersebut masih jauh di atas target The Fed sebesar 2 persen. Oleh karena itu, Ratih mengingatkan agar investor lebih cermat dalam memilih saham.

"Carilah saham berfundamental baik, memiliki prospek bisnis yang berkelanjutan dan defensif di sektor perbankan, metal mining dan consumer goods, di tengah risiko pelemahan ekonomi akibat kebijakan hawkish tersebut," jelas Ratih. 

Saham-saham pilihan yang bisa dicermati investor diantaranya :

BBCA

(Buy) di area Rp 8.500 dengan target harga pada resistance terdekat di level Rp 8.900 serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp 8.100. 

MDKA

(Buy on Weakness) di area Rp 4.180-Rp 4.200 dengan target harga pada resistance di level Rp 4.700 serta pertimbangkan cut loss apabila break support pada area Rp 4.000. 

ICBP

(Buy) di area Rp 10.300 dengan target harga pada resistance terdekat di level Rp 10.800 serta pertimbangkan cut loss apabila break support di level harga Rp 9.900. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement