REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) menghapuskan pasal terkait tentang spin off yang dilakukan jika UUS sudah mencapai 50 persen aset induk. Semula, spin off wajib pada 2023.
Dalam RUU PPSK terbaru, keputusan spin off diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pengamat Ekonomi Syariah PEBS FEB UI, Ronald Rulindo mengatakan OJK sebagai regulator akan lebih mengerti industri dan DPR selaku wakil rakyat pun dapat menjaring aspirasi agar Indonesia punya industri perbankan syariah yang besar.
"Tujuan awal adanya UUS itu kan sebagai insentif kepada industri perbankan agar bersedia ikut serta membesarkan bank syariah, tinggal dilihat saja, apakah UUS yang sudah menerima banyak insentif bisa besar? Jika iya, artinya kebijakan adanya UUS sukses," katanya pada Republika, Sabtu (10/12/2022).
Jika tidak, maka harus dipertimbangkan perlu tidaknya melanjutkan insentif karena harus ada azaz keadilan. Jangan sampai UUS yang disiplin mengikuti UU tetapi justru tidak mendapatkan insentifnya. Padahal mereka sudah membuktikan komitmennya dengan mendirikan BUS.
Menurutnya, insentif harus adil diperoleh semua atau justru semua tidak dapat insentif sama sekali agar tercipta level playing field. Indonesia bisa mengikuti benchmark internasional, baik itu di Malaysia maupun Timur Tengah.
"Seluruh lembaga perbankan syariah yang besar itu adalah full fledge Islamic bank alias BUS, bukan islamic windows yang di Indonesia dimodifikasi menjadi UUS," katanya.
Islamic windows memang sempat besar di Malaysia. Tapi akhir tahun 2000-an mereka sudah spin off menjadi BUS. Tidak ada keharusan menurut UU, tetapi memang diarahkan oleh Bank Negara Malaysia selaku regulator.
Ini jelas ada keseriusan terhadap membesarkan perbankan syariah. Menariknya, kata Ronald, walaupun wajib menjadi BUS, BUS yang merupakan spin off dari UUS disana itu tetap mendapatkan insentif dan fasilitas yang sama.
"Jadi penolakan spin off itu tidak besar waktu itu," katanya.
Di Indonesia muncul perdebatan karena dinilai sumber daya menjadi tidak efisen. Ronald mengatakan keberatan soal penambahan gaji direksi, komisaris, komite dan lain sebagainya, ia menyebut itu sebagai biaya bisnis yang memang sudah seharusnya dikeluarkan.
"Masa untuk biaya-biaya lain tidak masalah mengeluarkan biaya, tapi untuk syariah seakan hitung-hitungan, padahal mencari profitnya di sana juga," katanya.
Ia menyarankan untuk menjual aset UUS saja ke bank syariah lain jika tidak mau mengeluarkan uang sama sekali untuk SDM. Merger juga bisa jadi pilihan agar kebijakan konsolidasi perbankan yang sudah menjadi tujuan OJK bisa segera tercapai khususnya untuk perbankan syariah.