REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Kepala Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri (PKKPBI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Arman Hakim Nasution menyebut, energi masih menjadi penentu kinerja ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia, konsumsi energi mengalami kenaikan rata-rata 5,6 persen per tahun. Pada 2030, diperkirakan konsumsi energi bagi industri mencapai 49 persen.
Kemudian, disusul konsumsi energi untuk transportasi sebesar 29 persen, rumah tangga 15 persen, dan komersial 4 persen. "Maka, peran energi bagi pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, karena konsumsi energi dalam struktur industri ada pada angka kumulatif 50-60 persen," kata Arman dalam diskusi bertema "Energy & Industry Outlook 2023" yang digelar Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus di Surabaya, Kamis (17/11).
Arman melenjutkan, agar suplai energi tetap stabil dan tidak mengalami kekurangan, harus ada transformasi energi fosil menuju Energi Baru Terbarukan (EBT) di sejumlah sektor yang mungkinkan. Artinya, kata dia, harus dilakukan pemetaan sektor mana saja yang memungkinkan beralih menuju EBT secara total atau gabungan antara penggunaan energi fosil dan EBT.
"Sehingga terjadi gabungan efisiensi antara yang bisa renewable apa, yang sulit berubah apa, itu lebih fokus. Karena untuk memaksa industri beralih (total ke EBT) juga tidak bisa sebab akan menimbulkan ketidakpercayaan konsumen," ujarnya.
Anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha mengatakan, dukungan dari pihak terkait sangat diperlukan untuk program transformasi energi dari energi fosil menuju EBT. Apalagi, Indonesia disebutnya memiliki potensi energi baru terbarukan sangat besar dan belum termanfaatkan secara utuh.
Satya menjelaskan, potensi energi baru terbarukan Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW). Sedangkan yang termanfaatkan hingga saat ini baru sekitar 2,77 persen atau sekitar 11,6 GW. Ia pun merinci potensi energi baru terbarukan yang dimiliki Indonesia. Seperti energi ombak dengan potensi 17,9 GW, geothermal 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air atau hydro 75 GW, dan energi solar atau matahari mencapai 207,8 GW.
"Oleh karena itu, harus ada percepatan pengembangan EBT. Transformasi EBT juga harus mendapat dukungan penuh dan kesepakatan dari pemerintah daerah," kata Satya.
Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus, Deden Mochammad Idhani pun mengamini kemungkinan konsumsi energi kembali mengalami kenaikan di tahun depan. Apalagi kegiatan masyarakat serta industri besar maupun kecil sudah mulai bergerak normal.
"Kegiatan masyarakat dan industri besar dan kecil sudah mulai bergerak normal, sehingga tahun 2023 otomatis memerlukan energi yang lebih besar. Oleh karena itu, salah satu kuncinya adalah kolaborasi semua elemen bangsa ini untuk hadapi tantangan 2023," ujar Deden.
Dari sisis pemerintah, lanjutnya, pasti akan melakukan langkah-langkah strategis agar energi bisa disediakan sesuai dengan kebutuhan di 2023. Termasuk Pertamina yang dipastikannya akan mengupayakan pemenuhan kebutuhan energi sesuai dengan tugas dan fungsinya.
"Kita komit membantu pemerintah untuk sediakan energi sesuai dengan kebutuhan. Tentunya tidak hanya pemerintah dan Pertamina, semua masyarakat dan stakeholder harus mendukung upaya pemerintah tersebut," kata Deden.