REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia mewaspadai tinggi laju inflasi volatile food. Hal ini mengingat sejumlah negara termasuk Indonesia masih ketergantungan impor.
Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Aaditya Mattoo, mengatakan saat ini laju inflasi sebagian negara konsumsi utama masyarakat di Indonesia yang masih bergantung beras, sehingga cukup berisiko pada inflasi pangan. Sebab, jika harga beras bergejolak maka solusi yang paling mudah yakni impor meskipun saat ini harga beras masih relatif stabil, sehingga inflasi masih cukup terkendali.
"Jika melihat inflasi saat ini, sebagian besar negara di kawasan ketidaksesuaian antara produksi domestik dan konsumsi domestik, telah menciptakan ketergantungan impor yang meningkat. Ini merupakan sumber inflasi harga pangan," ujarnya dalam laporan Bank Dunia, Rabu (28/9/2022).
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan indeks harga konsumen (IHK) pada Agustus 2022 menunjukkan deflasi sebesar 0,21 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Adapun secara tahunan (yoy) masih menunjukkan inflasi sebesar 4,69 persen.
Komoditas utama yang menyebabkan deflasi pada pangan yakni telur ayam, yang selama bulan lalu memiliki andil terhadap deflasi sebesar 0,06 persen. Disusul oleh bawang merah yang memiliki andil deflasi 0,05 persen.
Selain itu, daging ayam ras, cabai merah, dan cabai rawit memiliki andil deflasi sebesar 0,02 persen. Sayuran dan kentang, jeruk, serta bawang putih juga memiliki andil deflasi sebesar 0,01 persen.