Ahad 18 Sep 2022 16:29 WIB

Ada Ancaman Resesi Global, BI: Kondisi Setiap Negara Berbeda

BI menyebut negara berkembang tidak perlu naikkan suku bunga untuk jaga dari resesi

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang pedagang menunggu pelanggan di kiosnya yang menjual beras dan biji-bijian lainnya di sebuah pasar di Jakarta, Indonesia. Bank Indonesia terus mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik di tengah ancaman resesi pada skala internasional. Bank Dunia menyatakan pada Sabtu (17/9), kenaikan suku bunga oleh bank sentral di seluruh dunia dapat memicu resesi global pada 2023.
Foto: AP/Achmad Ibrahim
Seorang pedagang menunggu pelanggan di kiosnya yang menjual beras dan biji-bijian lainnya di sebuah pasar di Jakarta, Indonesia. Bank Indonesia terus mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik di tengah ancaman resesi pada skala internasional. Bank Dunia menyatakan pada Sabtu (17/9), kenaikan suku bunga oleh bank sentral di seluruh dunia dapat memicu resesi global pada 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia terus mencermati perkembangan ekonomi global dan domestik di tengah ancaman resesi pada skala internasional. Bank Dunia menyatakan pada Sabtu (17/9), kenaikan suku bunga oleh bank sentral di seluruh dunia dapat memicu resesi global pada 2023.

Deputi Gubernur BI, Dody Budi Waluyo menyampaikan BI akan terus mengamati perkembangan yang terjadi dan mengambil kebijakan secara terukur berdasarkan data. BI memiliki kerangka bauran kebijakan yang dapat dioptimalkan dalam menghadapi tantangan saat ini, termasuk koordinasi yang kuat dengan kementerian dan lembaga terkait.

"Tentunya dari sisi BI akan tetap vigilance mencermati berbagai risiko yang ada," katanya pada Republika, Ahad (18/9).

Dody menekankan, meski risiko inflasi global disebut meningkat, namun terdapat perbedaan kondisi antara negara maju dengan negara berkembang. Di negara maju stimulus fiskal yang besar saat pandemi menyebabkan lonjakan permintaan yang signifikan saat ekonomi berangsur pulih.

Kondisi ini ditambah dengan kendala sisi pasokan, menyebabkan tekanan inflasi yang sangat besar di negara maju. Akibatnya, otoritas perlu menaikkan suku bunga secara signifikan dan cepat untuk mengerem laju inflasi yang akseleratif.

Namun demikian, tradeoff-nya ada risiko resesi meningkat karena kenaikan suku bunga yang tinggi akan mengerem laju pertumbuhan ekonomi dengan lebih besar. Di negara berkembang termasuk Indonesia, kata Dody, kondisinya berbeda.

"Stimulus fiskal saat pandemi yang tidak eksesif seperti di negara maju menyebabkan pemulihan ekonomi tidak disertai dengan lonjakan permintaan yang luar biasa," katanya.

Ini membuat tingkat inflasi dalam negeri lebih terkendali dan lebih didominasi oleh sisi pasokan. Inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia per Agustus sebesar 4,69 persen (yoy), turun tipis dari bulan Juli 2022 yang sebesar 4,94 persen (yoy).

Dalam kondisi tingkat inflasi disebabkan sisi pasokan, negara berkembang tidak perlu menaikkan suku bunga secara signifikan seperti di negara maju. Sehingga risiko mengganggu ekonomi yang sedang pulih menjadi lebih kecil.

Tekanan inflasi di domestik khususnya second round atau dampak rambatan, kenaikan harga BBM juga telah dimitigasi secara forward looking oleh BI. Yakni dengan instrumen moneter termasuk Giro Wajib Minimum (GWM) yang naik bertahap dan tetap ada insentif, suku bunga yang naik 25 bps, serta koordinasi dengan kementerian lembaga lain untuk mitigasi dari sisi pasokan.

Instrumen kebijakan BI lainnya seperti makroprudensial dan sistem pembayaran juga tetap diarahkan untuk mendukung pemulihan ekonomi. BI masih pada proyeksi pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 4,5 - 5,3 persen dan inflasi 2022 melebihi kisaran sasaran 2-4 persen.

"Proyeksi ini tentunya akan diupdate dari waktu ke waktu memperhatikan dinamika perkembangan di global maupun domestik," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement