REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Wahyu Utomo menilai kehadiran Bandara Internasional di Bali Utara tetap menjadi kebutuhan nasional, meski sudah dicoret dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
"Bukan berarti proyek tersebut tidak dikerjakan, tapi pace-nya akan berbeda. Karena banyak masalah yang menyebabkan butuh effort lebih besar sehingga pada 2024 (diprediksi) tidak terselesaikan," kata Wahyu di Jakarta, Ahad (21/8/2022).
Ia mengatakan proyek bandara baru di Bali utara ini sudah masuk dalam Rencana Rencana Induk Bandar Udara yang sudah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perhubungan RI No 166/2019 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional.
Salah satu alasannya, Bandara Internasional Ngurah Rai di Denpasar saat ini hanya memiliki satu landasan pacu dan tidak bisa berkembang lagi karena persoalan lahan. Sehingga apabila terjadi sesuatu di bandara tersebut, maka akses udara Bali juga praktis tertutup.
Padahal, Bali merupakan destinasi wisata serta tempat penyelenggaraan MICE, termasuk konferensi tingkat tinggi. Apabila ada kendala bandara seperti karena abu vulkanis Gunung Agung di 2017 dan 2018, maka harus dilakukan penutupan penerbangan reguler untuk sementara.
Selain itu, kapasitas bandara yang terletak di selatan Bali ini hanya dapat menampung 24 juta penumpang per tahun, dengan maksimum pengembangan hanya sampai 32 juta penumpang per tahun. Sehingga layanan pada 2026 diperkirakan mencapai puncaknya.
Sebelumnya, Pemrakarsa Bandara Bali Utara, PT BIBU Panji Sakti, mengungkapkan keuntungan pembangunan bandara internasional baru di Bali Utara yang di antaranya tidak membutuhkan lahan yang luas.
Direktur Utama PT BIBU Erwanto Sad Adiatmoko menyampaikan bahwa pihaknya telah melakukan studi di delapan tempat berbeda di Bali untuk mencari tempat yang ideal dibangun bandara.