REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi China mengalami kontraksi tajam karena kebijakan lockdown untuk mencegah penyebaran Covid-19 telah menghantam bisnis dan konsumen. Produk domestik bruto (PDB) turun 2,6 persen pada kuartal II 2022 dibanding kuartal sebelumnya.
Kota-kota besar di seluruh China, termasuk pusat keuangan dan manufaktur utama Shanghai ditutup penuh atau sebagian selama periode ini. Hal ini terjadi ketika negara itu terus mengejar kebijakan nol-Covid.
Secara tahunan, ekonomi terbesar kedua di dunia itu mengalami pertumbuhan tipis sebesar 0,4 persen pada kuartal kedua. Realisasi meleset dari ekspektasi yang diperkirakan mencapai 1 persen.
"Pertumbuhan PDB kuartal kedua adalah hasil terburuk sejak awal pandemi karena penguncian, terutama di Shanghai, sangat berdampak pada aktivitas pada awal kuartal," kata ekonom utama di Oxford Economics, Tommy Wu dilansir BBC, Jumat (15/7/2022).
Salah satu korban dari kontraksi ekonomi ini adalah merek fesyen mewah Inggris Burberry. Perusahaan mengumumkan penjualannya di Cina telah sangat terpengaruh karena kebijakan penguncian ini.
Perusahaan mencatat penjualan China turun 35 persen pada kuartal pertama karena pembeli tidak bisa keluar dari rumah. Padah, sejak toko dibuka kembali di China pada Juni, kinerjanya cukup menggembirakan.
Hal ini juga tercermin dalam data resmi pemerintah bulan lalu yang menunjukkan peningkatan kinerja ekonomi negara setelah pembatasan dicabut. "Data Juni lebih positif, dengan aktivitas meningkat setelah sebagian besar penguncian dicabut," kata Wu.
Sementara itu, analis pasar Jeff Halley melihat beberapa titik terang dalam data ekonomi terbaru dari China. Meski PDB tidak sesuai ekspektasi, tingkat pengangguran turun menjadi 3,5 persen dan penjualan ritel mengalami perbaikan.
Namun, banyak analis memperkirakan ekonomi Cina tidak akan pulih dengan cepat karena pemerintah melanjutkan pendekatan ketat nol-Covid untuk memperlambat penyebaran virus Covid-19.