REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan memutuskan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok mencapai 12 persen pada 2022. Kebijakan itu diterapkan berbarengan dengan simplifikasi struktur tarif cukai rokok dari sebelumnya 10 layer menjadi delapan layer yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 192 Tahun 2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Teranyar, Kemenkeu disebut melanjutkan kebijakan simplifikasi hingga menjadi lima layer, salah satu aspek yang ditekankan golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) serta Sigaret Putih Mesin (SPM); penyatuan Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan 1A dan 1 B; dan penurunan batas kuota dari tiga juta batang ke dua juta batang.
Penolakan simplifikasi datang dari Anggota Komisi XI DPR Kamrussamad. Menurutnya, penyederhanaan ini akan melemahkan daya saing dan membahayakan pabrikan menengah kecil.
“Terutama dari sisi tenaga kerjanya yang cepat atau lambat akan kehilangan lapangan pekerjaannya. Sebab, mau tidak mau, golongan yang dihilangkan layernya harus naik ke golongan atasnya akibat peraturan, bukan karena kemampuan dan penambahan produksi,” ujarnya, Kamis (14/7/2022).
Sementara itu Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Hendrawan Supratikno menambahkan, pihaknya sedang melakukan penelaahan tentang cukai tembakau.
“Dua fokus utama adalah tata kelola pengadaan pita cukai, yang dikerjakan konsorsium tiga perusahaan, dan layerisasi tarif cukai,” ucapnya.
Menurutnya, pemerintah tak boleh terburu-buru dalam menerapkan kebijakan simplifikasi tersebut. “UMKM tetap harus dilindungi dari tekanan regulasi, termasuk dari dampak negatif oligopolisasi industri rokok. Terkait simplifikasi, masih terus dikaji, itu ranah kebijakan. Kami melihatnya dari sudut tata kelola dan akuntabilitas kontrolnya,” ucapnya.
Dari pelaku usaha, Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya Sulami Bahar mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah dari adanya simplifikasi tersebut. Sebab, kebijakan itu akan mencekik para pelaku industri tembakau kecil dalam melanjutkan usahanya.
“Pasti nanti dampaknya akan terjadi banyaknya perusahaan rokok yang kelimpungan. Sekarang beda dari tarif cukai antara golongan 1A dengan 1B itu cukup signifikan. Artinya, di situ kalau digabung jadi satu yang golongan 1B akan naik tarifnya menuju golongan 1A. Apalagi kalau golongan 1A dinaikkan berarti kan naiknya dua kali,” ucapnya.
Menurut Sulami, akibat dari adanya penerapan PMK Nomor 192 Tahun 2021 masih amat berat dirasakan oleh pelaku industri tembakau menengah ke bawah. Karena regulasi itu membuat produksi rokok menurun.
“(PMK Nomor 192 Tahun 2021) itu kenaikan tarif cukai 12 persen. Nah, dampaknya industri mengalami penurunan produksi karena harganya luar biasa,” ucapnya.
Dia menyebut, yang dibuat menderita oleh pemerintah dari PMK Nomor 192 Tahun 2021 tak hanya pengusaha, melainkan juga para petani tembakau.
“Sedangkan petani otomatis penyerapannya berkurang. Akibatnya, pendapatan berkurang. Jadi kalau sudah kayak begitu pendapatan negara juga berkurang. Ujung-ujungnya, nanti rokok ilegal yang semakin marak, pasti larinya ke sana,” ucapnya.