REPUBLIKA.CO.ID, BADUNG -- Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan tiga tantangan global kini mempengaruhi pelaku bisnis industri hulu migas. Ketiganya yakni transisi energi, pandemi, dan konflik geopolitik dunia.
"Tiga tantangan itu membuat industri hulu migas harus merumuskan strategi jitu," ujar Dwi dalam acara The 12th Indonesian Human Resource Summit (IHRS) di Badung, Bali, Rabu (29/6/2022).
Dwi menuturkan, komitmen global terhadap net zero emission tentunya akan mengubah rencana dan prioritas pelaku bisnis dalam jangka menengah dan panjang. Di sisi lain, saat ini terdapat tren peningkatan permintaan dan harga komoditas migas akibat pulihnya ekonomi dunia dari pandemi serta krisis Rusia-Ukraina.
Dwi mendorong kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut. Sektor hulu migas harus bisa mendukung transisi yang mulus dalam menuju netralitas karbon yang kini menjadi komitmen pemerintah Indonesia.
Menurut dia, sektor hulu migas harus bisa menyediakan kebutuhan energi yang terjangkau dan berkecukupan di masa transisi energi. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), prosentase kontribusi minyak dan gas terhadap jumlah energi yang dibutuhkan memang akan menurun dari 63 persen pada tahun 2020 menjadi 44 persen pada tahun 2050.
Namun, secara volume kebutuhan minyak dan gas ini justru akan meningkat. Pada 2050, konsumsi minyak diperkirakan akan meningkat sebesar 139 persen dari saat ini yang sebesar 1,66 juta BOPD menjadi 3,97 juta BOPD.
Sedangkan, konsumsi gas diperkirakan akan meningkat lebih besar. Saat ini konsumsi gas sekitar 6,000 MMSCFD diperkirakan meningkat menjadi 26,112 MMSCFD pada tahun 2050 atau meningkat sebesar 298 persen.
"Dengan memperhatikan pertumbuhan konsumsi tersebut dan dalam upaya memastikan kecukupan energi, maka potensi hulu migas Indonesia masih cukup besar," kata Dwi.