REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendorong negara G7 untuk segera mencari solusi konkret dan bertindak cepat mengatasi ancaman krisis pangan global. Hal ini disampaikan Jokowi saat menghadiri sesi kedua pertemuan KTT G7 yang membahas terkait isu pangan.
“Bapak Presiden juga menekankan bahwa perlu tindakan yang cepat untuk mencari solusi konkret. Produksi pangan harus ditingkatkan, rantai pasok pangan dan pupuk global harus kembali normal,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangan pers yang disiarkan melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden, Selasa (28/6/2022).
Kepada para pemimpin negara G7, Jokowi menyampaikan bahwa rakyat di negara berkembang terancam kelaparan dan jatuh ke jurang kemiskinan ekstrem. Berdasarkan data World Food Program, sebanyak 323 juta orang pada 2022 ini akan menghadapi kerawanan pangan akut.
“Ini adalah permasalahan hak asasi manusia yang mendasar. Jadi pangan adalah permasalahan hak asasi manusia yang paling mendasar, di mana perempuan dan keluarga miskin menjadi yang paling terkena dampaknya menghadapi kekurangan pangan,” jelas Menlu.
Selain itu, Jokowi pun menekankan pentingnya dukungan negara-negara G20 untuk mereintegrasi ekspor gandum dari Ukraina, serta ekspor komoditi pangan dan pupuk Rusia ke dalam rantai pasok global.
Upaya ini dapat dilakukan melalui dukungan dari negara G7, yakni dengan memfasilitasi ekspor gandum Ukraina agar dapat segera berjalan dan pentingnya mengkomunikasikan kepada dunia bahwa komoditas pangan dan pupuk dari Rusia tidak terkena sanksi.
Menurut Jokowi, komunikasi yang intensif diperlukan agar tidak terjadi keraguan berkepanjangan dari publik internasional. Selain itu, komunikasi yang intensif juga perlu dilakukan pada pihak-pihak yang terkait seperti bank, asuransi, perkapalan dan lain-lain.
Jokowi juga menekankan, bahwa dampak perang terhadap rantai pasok pangan dan pupuk sangatlah nyata. Negara-negara G7 dan G20, kata Jokowi, memiliki tanggung jawab besar untuk mengatasi krisis pangan ini.
“Khusus untuk pupuk jika gagal menanganinya maka krisis beras yang dapat menyangkut 2 miliar manusia, terutama di negara berkembang dapat terjadi,” ujar Retno.