Selasa 07 Jun 2022 18:25 WIB

Sri Mulyani: Kenaikan Harga Minyak Dunia Menyentuh Minus 120 juta Dolar AS

Sri Mulyani harga minyak jadi indikator utama dalam menentukan keuangan negara

Rep: Novita Intan / Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komite IV DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pemerintah menyebut kenaikan harga minyak dunia bergerak minus hingga 120 juta dolar AS. Hal ini menimbulkan inflasi tinggi di sejumlah negara.
Foto: ANTARA/Galih Pradipta
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) menyampaikan paparan pada rapat kerja dengan Komite IV DPD di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Pemerintah menyebut kenaikan harga minyak dunia bergerak minus hingga 120 juta dolar AS. Hal ini menimbulkan inflasi tinggi di sejumlah negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut kenaikan harga minyak dunia bergerak minus hingga 120 juta dolar AS. Hal ini menimbulkan inflasi tinggi di sejumlah negara. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan harga minyak menjadi salah satu indikator utama dalam menentukan keuangan negara, karena berkaitan dengan belanja subsidi energi. Ketika pandemi Covid-19, harga minyak global menjadi bergerak volatil karena ketidakpastian yang tinggi.

Volatilitas itu bahkan sempat membuat harga minyak dunia menjadi negatif selama dua hari pada April 2022. Sebelumnya tak terbayangkan bahwa harga emas hitam bisa sampai negatif atau tidak ada yang membeli.

"Bapak ibu sekalian pasti masih ingat, April 2020 harga minyak sempat negatif, tidak ada harganya. Sudah muncrat-muncrat di berbagai sumur di dunia tidak ada yang beli. Waktu itu karena kita sedang pandemi," ujarnya saat rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Selasa (7/6/2022).

Harga minyak dunia kemudian bergerak bertahap, menjadi 20 dolar AS. Harga minyak lalu merangkak naik hingga 60 dolar AS yang masuk kisaran asumsi dalam APBN. Namun, ternyata ketidakpastian global terus mengerek naik harga minyak, hingga 80 dolar AS lalu 100 dolar AS.

Konflik Rusia dan Ukraina kemudian pecah, harga minyak pun naik hingga mencapai 120 dolar AS. Menurut Sri Mulyani, hal tersebut menggambarkan betapa volatilnya harga emas hitam.

"Ini hanya untuk menggambarkan betapa dalam dua tahun range minus sampai 120 dolar AS bisa terjadi," ucapnya.

Tak hanya tekanan harga minyak mentah, sejumlah bahan pangan juga tidak bisa ditahan. Dia pun mengakui, di Indonesia tidak semua harga bisa ditahan agar tidak berdampak kepada masyarakat.

"Indonesia harus melihat guncangan ini di dalam konteks apa yang harus kita amankan. Yang perlu kita amankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Kita ingin tidak hanya ekonomi pulih tetapi masyarakat kondisinya membaik," ucapnya.

Sri Mulyani menjelaskan, menjaga daya beli masyarakat berpotensi menimbulkan implikasi kebijakan. Sebab, jika pemerintah berupaya keras menahan kenaikan harga maka dampaknya pada pembengkakan subsidi.

"Oleh karena itu, melindungi daya beli memang masyarakat memang menimbulkan implikasi kebijakan bahwa harga sedapat mungkin harga kita tahan, tapi tidak semuanya bisa kita tahan. Ini berarti subsidi akan melonjak akan tinggi," jelasnya.

Menurutnya kenaikan ekstrem harga komoditas membuat inflasi naik seperti di Turki mencapai 74 persen. Sementara di Indonesia telah mencapai 3,5 persen.

"Kita melihat situasi kenaikan harga diberbagai negara tidak mampu absorb. Kenaikan itu diteruskan langsung ke perekonomian dan masyarakat, sehingga banyak negara mengalami kenaikan harga di dalam negaranya. Saya bicara dengan banyak menkeu. Menkeu Turki mengatakan inflasi didalam negerinya 74 persen, Indonesia 3,5 persen," ucapnya.

Sri Mulyani menyebut peningkatan harga tidak hanya berdampak pada inflasi, tetapi juga pelebaran defisit. Misalnya di Mesir pelebaran defisit terus terjadi, padahal negara itu penghasil gas.

"Saya bicara dengan menkeu Mesir mereka merasakan harga minyak naik meski mereka punya gas. kenaikan yang sangat ekstrim. Harga energi mereka masih absorb sehingga harga BBM sama dengan Indonesia, namun subsidinya melonjak sekali. Defisit APBN Mesir enam persen. Ini memberikan perbandingan bahwa semua konsekuensinya ada dimana mana," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement