REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan mendukung rencana Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang akan melakukan audit perusahaan sawit di Indonesia.
"Gapki mendukung rencana audit sawit sebab sebelumnya sudah ada Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Sawit di mana mengamanatkan salah satunya mengevaluasi perizinan," kata Sekretaris Jenderal Gapki, Eddy Martono kepada Republika.co.id, Jumat (27/5/2022).
Eddy mengatakan, para pengusaha justru berharap setelah diadakannya audit, akan diperoleh kejelasan data persawitan. Baik soal luas perkebunan sawit, produksi di hulu hingga produksi di industri hilir.
Kejelasan data persawitan nasional tentunya akan membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan yang lebih tepat. Eddy mengatakan, itu akan membuat industri sawit lebih baik.
Adapun, soal kantor pusat perusahaan sawit wajib berada di Indonesia, sesuai pernyataan Menko Luhut, Eddy mengatakan, perusahaan dengan status penanaman modal asing (PMA) kemungkinan memang berkantor pusat di luar negeri.
"Tetapi, walaupun PMA yang beroperasi di Indonesia, untuk mendapatkan lahan HGU (hak guna usaha) harus berbadan hukum Indonesia," kata Eddy.
Dengan begitu, meski mereka PMA dan berkantor pusat di luar negeri, tetap harus mengikuti aturan Indonesia, termasuk soal perpajakan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan melakukan audit terhadap perusahaan minyak kelapa sawit dan memastikannya untuk membangun kantor pusat di Indonesia. Luhut mengaku telah diminta Presiden Jokowi untuk menyelesaikan masalah minyak goreng di Jawa dan Bali.
"Begitu Presiden minta saya manage minyak goreng, orang pikir hanya minyak goreng. Tidak. Saya langsung ke hulunya. Anda sudah baca di media, semua kelapa sawit itu harus kita audit," katanya, Rabu lalu.
Menurut Luhut, audit dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi bisnis sawit yang ada. Hal itu meliputi luasan kebun, produksi hingga kantor pusatnya.
Luhut pun mengatakan kantor pusat perusahaan sawit wajib berada di Indonesia agar mereka membayar pajak. Pasalnya masih banyak perusahaan sawit yang berkantor pusat di luar negeri sehingga menyebabkan Indonesia kehilangan potensi pendapatan dari pajak.
"Bayangkan dia punya 300-500 ribu hektare, headquarter-nya di luar negeri, dia bayar pajaknya di luar negeri. Tidak boleh. Kamu harus pindahkan kantor pusatmu ke Indonesia," ujar dia.