REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Efektivitas investasi BUMN di sejumlah start up jangan dinilai hanya dari pergerakan harga saham. Akan tetapi harus dilihat dari sebuah perjuangan membangun ekosistem digital di Indonesia agar tidak dikuasai oleh investor asing.
Apabila Investasi BUMN di start up dibatasi, maka dampaknya investor asing akan semakin leluasa menguasai startup asli Indonesia. Hal tersebut merupakan saripati dalam wawancara dengan Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam, Jumat (27/5/2022).
Piter mengatakan Indonesia merupakan negara dengan jumlah perusahaan start up digital terbanyak kelima di dunia. Merujuk laporan Start up Ranking, pada tahun 2022 Indonesia memiliki 2.346 startup digital.
"Yang lebih membanggakan, dari sekian banyak start up digital tersebut terdapat 10 start up yang sudah tergolong unicorn dan dua di antaranya bahkan sudah menjadi decacorn. Artinya, perusahaan start up di Indonesia memiliki valuasi yang sangat besar, lebih dari Rp 14 triliun atau bahkan lebih dari Rp 140 triliun," ujarnya.
Menurutnya, unicorn dan decacorn mampu menarik begitu besar modal asing masuk ke Indonesia, menciptakan lapangan kerja yang begitu besar, dan menumbuhkembangkan beribu-ribu UMKM. Unicorn dan decacorn Indonesia telah dan akan terus menjadi etalase produk-produk lokal sekaligus meningkatkan nilai merek-merek Indonesia.
Namun, tuturnya, besarnya modal asing yang masuk ke unicorn dan decacorn di Indonesia memang kemudian memunculkan kritik tersendiri. Unicorn dan decacorn disebut-sebut bukan lagi perusahaan Indonesia dan oleh karena itu tidak bisa lagi dibanggakan.
"Kritik dan anggapan ini sangatlah tidak tepat. Di berbagai negara, penggerak start up adalah modal asing. Apalagi Indonesia yang memang sangat bergantung kepada modal asing," ujarnya.
Menurutnya, kehadiran investasi BUMN menjadi jawaban atas kekhawatiran dominasi kepemilikan asing di pada start up asli Indonesia. Beberapa BUMN baik secara langsung maupun melalui anak-anak perusahaannya sejak beberapa tahun terakhir aktif melakukan investasi di start up yang baru tumbuh ataupun di start up yang sudah berkembang menjadi unicorn atau decacorn.
Telkom misalnya, melalui anak perusahaanya PT Telkomsel berinvestasi di Gojek yang kemudian merger dengan Tokopedia membentuk Go To. Investasi Telkom di Go To cukup besar mencapai 450 juta dolar atau sekitar Rp 6,75 triliun. Selanjutnya adalah Bank Mandiri yang pada tahun 2016 mendirikan Mandiri Capital. Melalui Mandiri Capital yang merupakan perusahaan ventura, Bank Mandiri sudah melakukan investasi di banyak start up di Indonesia.
Berdasarkan data Crunchbase, Mandiri Capital telah menanamkan modal di 23 perusahaan start up, 11 di antaranya sebagai lead investor. Beberapa portofolio Mandiri Capital sudah tumbuh menjadi unicorn yaitu Bukalapak, atau decacorn yaitu GoTo.
Tidak ketinggalan Bank BRI. Melalui anak perusahaannya BRI Ventures, perusahaan modal ventura yang didirikan pada tahun 2019, BRI melakukan investasi pada banyak start up di Indonesia. Merujuk data Crunchbase, BRI Ventures telah menanamkan modal di 21 perusahaan start up dan menjadi lead investor di lima perusahaan yang dibiayai. Beberapa portofolio BRI Ventures sudah tumbuh menjadi unicorn adalah Bukalapak dan Xendit.
Menurut Piter, di balik investasi di start up ada risiko yang pastinya tidak kecil. Terutama ketika start up dengan valuasi yang begitu besar sudah melantai di bursa dan melibatkan begitu banyak investor ritel. Valuasi start up tidak sepenuhnya tergambarkan dalam pergerakan harga saham. Faktor sentimen akan ikut atau bahkan dominan mewarnai pergerakan harga saham.
“Risiko pergerakan harga saham start up ketika melantai di bursa ini tentu saja harus dihadapi oleh BUMN yang menjadi investor sejak awal. Harga saham Bukalapak dan Go To yang turun dibawah harga perdana pasti akan memunculkan potensial loss di dalam portofolio mereka. Tetapi hal tersebut seharusnya dilihat sebagai sebuah kewajaran,” ujarnya.
Meski demikian, dia menegaskan investasi BUMN di perusahaan startup bukanlah investasi jangka pendek. Kepemilikan saham startup oleh BUMN bukan untuk dijual segera ketika harganya sudah cukup tinggi. “Kepemilikan saham startup digital oleh BUMN adalah untuk strategi jangka panjang dalam upaya membangun ekosistem digital di masa depan yang akan memberikan jaminan memenangkan persaingan,” ujarnya.
Dengan dasar tersebut, Piter menegaskan ketika sebuah BUMN melakukan potential profit atau potential loss di investasi start up hendaknya diperlakukan hanya sebagai catatan dalam laporan keuangan, bukan sebagai ukuran kinerja BUMN, apalagi sebagai ukuran salah benar sebuah kebijakan. Menurutnya, menyalahkan BUMN karena adanya potential loss dari sebuah investasi pada startup digital akan berdampak buruk bagi masa depan start up di Indonesia. Keterlibatan BUMN dalam perkembangan start up digital akan menurun drastis dan start up di Indonesia akan kembali bergantung kepada modal asing.
“Start up yang potensial akan kembali dikuasai oleh investor asing. Jangan menjadi penyesalan apabila kelak pasar dan industri digital dikuasai oleh asing karena BUMN dibatasi pergerakannya untuk berinvestasi sejak dini pada start up Indonesia,” ujarnya.