REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijakan untuk menaikkan pajak pertambahan nilai atau PPN dari 10 persen menjadi 11 persen dalam waktu dekat disebut kurang tepat. Ekonom dan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan, kenaikan PPN ini akan semakin menekan daya beli masyarakat.
Seperti diketahui, pergerakan harga beberapa komoditas pangan strategis saat ini tengah mengalami peningkatan. Selain itu, permintaan barang dan jasa menjelang Ramadhan juga akan mengalami peningkatan. Kedua hal ini akan mendorong angka inflasi menjadi lebih tinggi.
Ditambah ada kenaikan tarif PPN 11 persen yang diajukan pemerintah, Yusuf memperkirakan kemungkinan besar peluang kenaikan ini akan direspons oleh pelaku usaha dengan melakukan penyesuaian harga karena ongkos produksi berpotensi meningkat.
"Alhasil, konfigurasi ini berpotensi menekan purchasing power masyarakat terutama kelompok menengah ke bawah," kata Yusuf kepada Republika.co.id, Ahad (20/3).
Terkait dengan barang yang dikenakan PPN, Yusuf mengatakan, sebaiknya barang kebutuhan pokok dasar seperti minyak goreng dan gula bisa dikecualikan dari PPN atau ditanggung oleh pemerintah. Khususnya minyak goreng yang saat ini harganya sudah sangat tinggi.
Memeprtimbangkan daya beli masyarakat yang masih lemah, nenurut Yusuf, pemerintah sebaiknya tidak terburu-buru dalam menaikkan PPN. Opsi menunda kenaikan tarif baru PPN tidak akan begitu menekan penerimaan negara.
Pasalnya, kenaikan harga energi masih berdampak positif terhadap penerimaan negara. "Jadi, menurut saya tidak masalah jika pemerintah mengambil opsi penundaan pengenaan tarif baru PPN," kata Yusuf.