Senin 07 Mar 2022 18:40 WIB

Benahi Rantai Distribusi dan Logistik Daging Sapi Nasional

Panjangnya rantai distribusi membuat biaya tambahan hingga pengaruhi harga jual

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Seorang pedagang daging sapi berada di los khusus penjualan daging sapi di Pasar Modern BSD, Serpong, Tangerang Selatan. Rantai distribusi daging sapi yang panjang menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi sehingga kenaikan di harga logistik dan transportasi akan berdampak signifikan pada kenaikan harga modal produksi daging sapi di tingkat produsen
Foto: ANTARA/Muhammad Iqbal
Seorang pedagang daging sapi berada di los khusus penjualan daging sapi di Pasar Modern BSD, Serpong, Tangerang Selatan. Rantai distribusi daging sapi yang panjang menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi sehingga kenaikan di harga logistik dan transportasi akan berdampak signifikan pada kenaikan harga modal produksi daging sapi di tingkat produsen

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah perlu fokus membenahi rantai distribusi dan logistik daging sapi nasional. Tingginya harga daging sapi perlu diatasi dengan melihat ke persoalan di hulu, salah satunya adalah rantai distribusi yang panjang. Panjangnya rantai distribusi menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit yang pada akhirnya memengaruhi harga jual.

“Rantai distribusi daging sapi yang panjang menimbulkan biaya tambahan yang cukup tinggi sehingga kenaikan di harga logistik dan transportasi akan berdampak signifikan pada kenaikan harga modal produksi daging sapi di tingkat produsen,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nisrina Nafisah, Senin (7/3/2022).

Baca Juga

Nisrina menjelaskan, pemerintah memilih mengimpor sapi bakalan yang harus digemukkan lagi dan dipotong di Indonesia.  Setelah itu, daging sapi yang dihasilkan dapat dijual langsung ke pedagang grosir berskala besar di pasar atau melalui tengkulak yang membantu Rumah Potong Hewan (RPH) untuk mendapatkan pembeli.

Tahapan selanjutnya adalah menjual daging sapi ke pedagang grosir berskala kecil. Merekalah yang menjual daging sapi ke pedagang eceran di pasar tradisional atau supermarket, sebelum akhirnya sampai di tangan konsumen. Proses panjang ini tentu menimbulkan biaya tambahan yang tidak sedikit.  

“Secara umum, tingginya harga daging sapi di Indonesia juga disebabkan oleh tingginya harga logistik, terutama biaya penyimpanan dalam cold storage (Sulistyono, 2022). Biaya logistik selama pandemi COVID-19 mengalami kenaikan,” tambahnya.

Naiknya harga sapi bakalan juga sejalan dengan penambahan harga modal penjualan yang harus dikeluarkan produsen dan pedagang pasaran daging sapi meningkat. Oleh karena itu, tingginya ongkos produksi dapat menyebabkan kerugian pada produsen dan penjual daging sapi.

Nisrina menambahkan, fluktuasi harga pangan tentunya merupakan hal yang biasa karena perdagangan pangan tidak lepas dari dinamika pasar berdasarkan produksi, distribusi, dan permintaan. Menjelang Bulan Ramadan dan Idul Fitri, jumlah permintaan biasanya akan meningkat dan hal ini perlu diikuti dengan kecukupan pasok sebagai bentuk antisipasi.

Nisrina meminta pemerintah memastikan ketersediaan daging sapi untuk konsumsi domestik cukup untuk sepanjang tahun 2022. Produksi domestik bisa ditingkatkan dengan mengembangkan sistem produksi daging sapi agar dapat mencapai produktivitas yang optimal guna mengantisipasi lonjakan harga di pasar internasional.

Salah satunya dengan memodernisasi sektor peternakan Indonesia dan meningkatkan kapasitas peternak lokal. Indonesia juga dapat membuka diri terhadap investasi untuk memajukan sektor peternakan.

“Kedepannya, Indonesia dapat memperkuat kerja sama perdagangan dengan negara produsen utama daging sapi selain Australia untuk mendiversifikasi sumber pangan dan memperkuat resiliensi sistem pangan Indonesia,” kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement