Selasa 01 Mar 2022 23:17 WIB

Kenaikan Gas Elpiji, Asosiasi UMKM: Picu Lonjakan Harga Komoditas Lain

Asosiasi UMKM menilai kenaikan gas elpiji merugikan industri kecil dan mikro

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pekerja menata tabung gas elpiji nonsubsidi di salah satu agen di Petojo, Jakarta, Selasa (28/12/2021). Pertamina melakukan penyesuaian harga elpiji nonsubsidi ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram dengan kenaikan antara Rp1.600 hingga Rp2.600 per kilogram sejak 25 Desember 2021 untuk merespons tren peningkatan harga
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Pekerja menata tabung gas elpiji nonsubsidi di salah satu agen di Petojo, Jakarta, Selasa (28/12/2021). Pertamina melakukan penyesuaian harga elpiji nonsubsidi ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram dengan kenaikan antara Rp1.600 hingga Rp2.600 per kilogram sejak 25 Desember 2021 untuk merespons tren peningkatan harga

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) memutuskan kenaikan harga elpiji 12 kilogram dan 5 kilogram. Hal ini menyusul kenaikan acuan CP Aramco. 

Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) M Ikhsan Ingratubun sebaiknya pemerintah tidak menaikkan kebutuhan dasar dari UMKM, salah satunya gas elpiji.

Baca Juga

"Kenaikan gas elpiji akan memicu kenaikan komoditas lainnya. Apalagi saat memasuki bulan Suci Ramadhan," ujarnya ketika dihubungi Republika, Selasa (1/3/2022).

Menurutnya kenaikan kenaikan harga elpiji 12 kilogram dan 5 kilogram sangat merugikan industri kecil dan mikro. Hal ini mengingat kebutuhan elpiji 12 kilogram dan 5 kilogram vitalnya dengan kebutuhan seperti listrik, transportasi dan BBM.

Sebelumnya Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai ada tiga opsi Pertamina memutuskan untuk menaikkan harga elpiji. Pertama, penundaan kenaikan harga LPG non subsidi karena sebelumnya telah disesuaikan pada Desember 2021 lalu.

“Penyesuaian harga elpiji nonsubsidi ukuran 5,5 kilogram dan 12 kilogram naik dalam rentang Rp 1.600 hingga Rp 2.600 per kilogram. Dengan menunda kenaikan LPG non subsidi sama dengan mencegah beralihnya konsumen mampu ke LPG 3 kg,” ujarnya ketika dihubungi Republika.

Kedua, lanjut Bhima, membenahi skema subsidi LPG 3 kg secara lebih ketat. Saat ini model LPG 3kg dijual terbuka hanya dengan embel-embel “bagi orang miskin" jelas tidak efektif. 

“Idealnya pembeli LPG 3 kg benar-benar orang miskin atau rentan miskin yang masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Sinkronisasi data di Kementerian ESDM, Pertamina maupun Kementerian sosial ini penting memastikan subsidi tepat sasaran,” ucapnya.

Terakhir, menurutnya, jika tidak terdapat perubahan mekanisme subsidi maka pemerintah disarankan untuk menambah alokasi subsidi LPG 3 kg dan BBM dari Rp 77,5 triliun menjadi Rp 120 triliun. 

 

“Penambahan subsidi energi mutlak diperlukan, sehingga perpindahan konsumsi LPG dari non subsidi ke LPG 3 kg tidak berdampak ke kelangkaan pasokan,” ucapnya. 

 

"Secara otomatis akan berdampak kepada penentuan harga," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement