REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Cent merupakan salah satu marketplace non-fungible token (NFT) yang didirikan pada 2017. Perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu memutuskan menghentikan transaksi karena banyak yang menjual token konten bukan miliknya.
“Ini masalah mendasar di pasar aset digital yang berkembang pesat,” kata CEO dan salah satu pendiri, Cameron Hejazi dilansir dari Reuters, Sabtu (12/2/2022).
Penjualan NFT atau token yang tidak dapat dipertukarkan, melonjak menjadi sekitar 25 miliar dolar AS pada 2021, membuat banyak orang bingung mengapa begitu banyak uang yang dihabiskan untuk barang-barang yang tidak ada secara fisik dan yang dapat dilihat siapa pun secara online secara gratis.
NFT adalah aset kripto yang merekam kepemilikan file digital seperti gambar, video, atau teks. Siapa pun dapat membuat atau mencetak NFT, dan kepemilikan token biasanya tidak memberikan kepemilikan item yang mendasarinya. Sehingga laporan penipuan, pemalsuan dan "perdagangan cucian" telah menjadi hal biasa.
Mantan CEO Twitter, Jack Dorsey menjual NFT dari Tweet pertamanya yang diunggah pada 2006 silam di platform Valuables milik Cent. Tweet pertama Dorsey tersebut dibeli seharga 2,9 dolar AS (Rp 41,5 miliar).
Tetapi pada 6 Februari, Cent memutuskan berhenti mengizinkan pembelian dan penjualan. “Ada spektrum aktivitas yang terjadi yang pada dasarnya tidak boleh terjadi seperti, secara hukum," kata Hejazi.
Hejazi menyoroti tiga masalah utama dalam NFT, yakni orang yang menjual salinan NFT lain yang tidak sah, orang yang membuat konten NFT yang bukan miliknya, dan orang yang menjual set NFT yang menyerupai sekuritas.
“Dan masalah ini merajalela, pengguna mencetak dan mencetak dan mencetak aset digital palsu,” tegasnya.
“Itu terus terjadi. Kami akan melarang akun yang menyinggung, tapi itu seperti kami sedang bermain game whack-a-mole. Setiap kali kami mencekal satu, yang lain akan muncul, atau tiga lagi akan muncul,” tambahnya.
Masalah seperti itu menjadi fokus yang lebih besar ketika merek-merek besar bergabung dengan terburu-buru menuju apa yang disebut "metaverse", atau Web3. Di antaranya, Coca-Cola (KO.N) dan merek mewah Gucci termasuk di antara perusahaan yang telah menjual NFT, sementara YouTube mengatakan akan mengeksplorasi fitur NFT.
Sementara Cent, dengan 150 ribu pengguna dan pendapatan masih dalam jutaan, merupakan platform NFT yang relatif kecil. Padahal, menurut Hejazi, masalah konten palsu dan ilegal ini ada di seluruh industri.
"Saya pikir ini adalah masalah yang cukup mendasar dengan Web3," katanya.
Pasar NFT terbesar adalah OpenSea, senilai 13,3 miliar dolar AS setelah putaran terakhir pendanaan ventura. Pada bulan lalu, lebih dari 80 persen dari NFT yang dicetak secara gratis di platformnya adalah karya yang dijiplak, koleksi palsu, dan spam.
OpenSea mencoba membatasi jumlah NFT yang dapat dicetak pengguna secara gratis. Tapi kemudian membatalkan keputusannya menyusul reaksi balik dari pengguna.
Bagi banyak penggemar NFT, sifat terdesentralisasi dari teknologi blockchain menarik, memungkinkan pengguna untuk membuat dan memperdagangkan aset digital tanpa otoritas pusat yang mengendalikan aktivitas.
Namun Hejazi mengatakan, perusahaannya memiliki komitmen untuk melindungi pembuat konten, dan mungkin memperkenalkan kontrol terpusat sebagai tindakan jangka pendek untuk membuka kembali pasar, sebelum mengeksplorasi solusi terdesentralisasi.
Setelah penjualan NFT Dorsey, Cent mulai memahami apa yang terjadi di pasar NFT. "Kami menyadari bahwa banyak dari itu hanya mengejar uang,” ujarnya.