REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah telah menetapkan sistem neraca komoditas yang dirancang untuk memastikan akses domestik pada komoditas dengan mencocokkan pasokan dalam negeri dan impor dengan jumlah permintaan. Absennya unsur harga dalam sistem ini tentu memengaruhi efektivitasnya dalam memperkirakan permintaan dan jumlah pasokan yang dibutuhkan.
“Harga adalah parameter di mana produsen dan konsumen mengkomunikasikan tingkat penawaran dan permintaan mereka. Harga yang lebih tinggi akan menambah pasokan dan mengurangi permintaan pasar,” kata Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta dalam analisisnya dikutip Republika.co.id, Jumat (28/1/2022).
Ia melanjutkan, harga juga mengandung informasi tentang ketersediaan dan permintaan yang dapat menjadi alasan pergeseran permintaan dan penawaran. Karena alasan ini, kebijakan pemerintah yang berargumen bahwa kuantitas yang dipasok cukup adalah salah tempat jika harga domestik lebih tinggi dibandingkan dengan harga di masa lalu dan di luar negeri.
Penggunaan kuantitas tanpa harga juga dibayangi oleh proses pengumpulan data yang kompleks, seperti pengumpulan data konsumsi dan produksi di tingkat perusahaan, konsumen, produk, industri, dan nasional.
“Padahal pemerintah selalu menggunakan lartas ekspor impor untuk mengendalikan harga. Makanya agak mengejutkan ketika tiba-tiba kebijakannya akan didasari semata oleh data produksi dan konsumsi,” tambahnya.
Ketidaksepakatan antar kementerian yang mengumpulkan data tentang data mana yang harus digunakan juga menambah kompleksitas pengumpulan data. Data yang dikumpulkan juga merupakan kuantitas produksi dan konsumsi yang disederhanakan yang cenderung mengabaikan masalah seperti kualitas, kemudahan servis, dan kemampuan pengiriman.
Sementara, perselisihan data antar kementerian dapat dikurangi, perselisihan data antar perusahaan lebih sulit untuk ditangani. Tantangan lainnya adalah estimasi dan pemetaan dampak data ini pada rantai nilai industri dan jaringan produksi global.
“Penggunaan data tersebut secara terburu-buru malah berpotensi meningkatkan ketidakpastian dalam berusaha, terutama usaha industri yang terintegrasi dengan rantai pasok global,” ujarnya.
Oleh karena itu, harga dan kuantitas perlu menjadi pertimbangan dalam sistem yang akan diluncurkan untuk melacak lima komoditas, yaitu beras, garam, gula, daging sapi, dan produk perikanan. Penerapan kepada lebih banyak produk di 2023, lanjut Krisna, akan meningkatkan level kompleksitas neraca komoditas.
Neraca Komoditas adalah rangkaian basis data nasional yang terintegrasi dengan penawaran dan permintaan barang yang diperdagangkan untuk kebutuhan masyarakat dan industri di Tanah Air. Basis data ini juga akan digunakan untuk mengidentifikasi kekurangan atau kelebihan produksi dalam negeri sehingga izin impor dan izin ekspor diharapkan dapat diterbitkan sesuai kebutuhan.
Neraca komoditas juga ditujukan untuk memastikan produsen lokal dapat mengakses bahan baku dan bahan setengah jadi dan memberikan peran pada pasar domestik dalam penentuan impor dan ekspor. Untuk tujuan ini, impor akan diizinkan jika ada defisit dalam produksi dalam negeri. Sementara ekspor akan diizinkan dalam kasus surplus.
Penelitian CIPS merekomendasikan evaluasi penerapan neraca komoditas pada lima komoditas pertama ini untuk menguji sistem perizinan yang baru. Pemerintah juga perlu mensurvei pelaku ekspor impor untuk mendapatkan gambaran penerapan neraca komoditas di lapangan.
Krisna juga menekankan pentingnya mempertimbangkan tingkat kerumitan penerapan neraca komoditas, karena tanpa merubah proses pengumpulan data produksi dan konsumsi secara rinci, perbedaan data antar kementerian masih akan terjadi. Ketiadaan proses penyelesaian sengketa kuota juga mengurangi potensi perbaikan proses ekspor impor.