REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Ibu kota China, Beijing, untuk pertama kalinya memenuhi standar kualitas udara pada 2021. Ini merupakan upaya pemerintah negeri Tirai Bambu itu untuk menjaga perubahan iklim dunia.
China sendiri menyatakan perang terhadap polusi sejak 2014, setelah munculnya kabut asap yang berbahaya bagi masyarakatnya di sejumlah daerah. Hal tersebut memicu kemarahan warganya yang berimplikasi terhadap didorongnya upaya mengurangi konsumsi batu bara, emisi kendaraan, dan relokasi industri.
"Perbaikan itu nyata dan terjadi di seluruh industri di seluruh Beijing, serta sebagian besara negara lainnya," ujar Analis di Pusat Penelitain Energi dan Udara Bersih, Lauri Myllyvirta.
Namun, ia memperingatkan bahwa polusi di negara tersebut masih cukup tinggi. Hal itu masih berpotensi menyebabkan risiko kesehatan yang berkelanjutan bagi penduduknya.
Pembacaan rata-rata partikel kecil di udara berbahaya yang dikenal sebagai PM2.5 mencapai 33 mikrogram per meter kubik di Beijing sepanjang 2021. Hampir tujuh kali lebih tinggi dari yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Namun, angka tersebut turun 13 persen dibandingkan tahun sebelumnya dan memenuhi standar sementara. Beijing sendiri berjanji pada 2015, bahwa mereka akan menggunakan Olimpiade Musim Dingin 2022 untuk mendorong perbaikan di lingkungannya.
Sebagai ukuran kemajuannya. rata-rata pembacaan PM2.5 mencapai 71 mikrogram pada 2016. Tetapi sering kali mendekati 500 mikrogram selama musim dingin, ketikan mesin penghangat yang menggunakan batu bara dinyalakan.
Sejak itu, Beijing dan provinsi di sekitar Hebei terus melakukan upaya untuk beralih ke gas alam yang lebih bersih. Serta menanam banyak pohon besar di seluruh wilayahnya.
Mereka juga telah memberlakukan standar bahan bakar baru yang ketat pada mobil dan pabrik. Juga pada fasilitas industri lainnya untuk memasang peralatan yang ditujukan untuk mengendalikan emisi.
"Perbaikan lebih lanjut akan membutuhkan peralihan dari batu bara dan minyak ke energi bersih," ujar Myllyvirta.