REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyayangkan langkah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang melakukan revisi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) secara sepihak. Kadin menyebut, bukan tidak mungkin langkah itu menyebabkan adanya peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) di Ibu Kota.
"Kami sebagai pelaku usaha menilai ini akan menghambat proses produksi hingga manajerial dan akan dimungkinkan ada peningkatan PHK," kata Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia, Adi Mahfudz dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (20/12).
Adi menegaskan, langkah yang diambil Gubernur Anies Baswedan untuk merevisi UMP ketika sebelumnya telah disahkan menyalahi aturan. Pasalnya, pengaturan UMP harus disepakati secara tripartit yang melibatkan pemerintah, asosiasi pelaku usaha, dan serikat pekerja.
Batas akhir penetapan UMP juga telah lewat yang di mana ditetapkan maksimal pada 21 November 2021. "Makanya, kami ini sangat lucu jika gubernur berubah-ubah dalam menetapkan UMP," kata Adi.
Ia menegaskan, yang diperlukan bagi para pengusaha dan investor adalah kepastian usaha. Jika kebijakan pemerintah berubah-ubah, maka sektor bisnis akan mengalami kesulitan dalam menentukan proyeksi usaha. Menurut Adi, hal itu paling dikhawatirkan ketimbang menyoal masalah besaran upah.
"Bukan masalah naik turun, bukan. Tapi kami sebagai pelaku usaha akan kurang bisa memproyeksikan usaha itu. Ini yang sayangkan," katanya.
Kadin, kata Adi, sejauh ini tetap menganggap nominal UMP yang sah adalah yang telah ditetapkan sebelumnya di mana ditetapkan kenaikan UMP Jakarta sebesar 0,85 persen atau Rp 37.749 ribu per bulan. Adapun revisi kenaikan UMP yang baru diteken Pemrpov DKI Jakarta yakni sebesar 5,1 persen atau naik Rp 225.667 per bulan.
"Menerapkan UMP tidak seenteng itu, dan tidak cukup mengambil kesimpulan dari usulan satu serikat pekerja saja," kata dia.