REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan terdapat sejumlah hambatan dalam penyaluran pupuk bersubsidi yang mengakibatkan timbulnya potensi maldaministrasi. Hal itu diketahui dari hasil kajian sistemik Ombudsman yang disampaikan ke publik pada Selasa (30/11).
Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika menungkapkan, lima masalah yang ditemukan yakni terkait sasaran petani atau kelompok tani yang menerima pupuk bersubsidi. Kemudian akurasi data penerima, mekanisme distribusi yang diterapkan, efektivitas penyaluran serta mekanisme pengawasan distribusi.
Selama Mei-Juni 2021, Ombudsman melakukan serangkaian pemeriksaan lapangan untuk mengetahui lebih lanjut terkait masalah tersebut dengan meminta keterangan kepada pihak produsen pupuk, pemerintah daerah, distributor dan pengecer, serta para penyuluh pertanian dan kelompok tani yang tersebar di beberapa daerah.
Selanjutnya selama Agustus-Oktober 2021, pihaknya meminta keterangan dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, PT Pupuk Indonesia, Bank Himbara, Dinas Pertanian Dinas Pedagangan, distibutor, pengecer resmi, penyuluh dan Petani, serta permintaan keterangan kepada para ahli.
"Berdasarkan serangkaian kegiatan yang dilakukan, Ombudsman mencatat ada lima potensi maladministrasi," kata Yeka di Jakarta, Selasa (30/11) siang.
Adapun, potensi maladministrasi pertama yakni dalam penentuan kriteria dan syarat petani penerima pupuk bersubsidi saat ini tidak diturunkan dari rujukan undang-undang. Yakni UU 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani kemudian UU 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan, serta UU 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan.
Potensi yang kedua yakni dari pendataan petani penerima pupuk bersubsidi dilakukan setiap tahun dengan proses yang lama dan berujung dengan ketidakakuratan pendataan. "Hal ini berdampak pada buruknya perencanaan dan kisruhnya penyaluran pupuk bersubsidi," kata dia.
Selanjutnya potensi maldaministrasi ketiga yakni datang dari terbatasnya akses bagi petani untuk memperoleh pupuk bersubsidi serta permasalahan transparansi proses penunjukan distributor dan pengecer resmi.
"Potensi keempat, mekanisme penyaluran pupuk bersubsidi yang belum selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik dan prinsip enam tepat," kata dia.
Adapun potensi kelima, yakni belum efektifnya mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi sehingga belum tertanganinya secara efektif berbagai penyelewengan dalam penyalurannya.
Karena itu, Yeka mengatakan Ombudsman telah memberikan rekomendasi secara detail sebagai upaya perbaikan tata kelola pupuk bersubsidi.
Ia menuturkan, Ombudsman merkomendasikan perbaikan dalam kriteria penerima pupuk subsidi. Kemudian perbaikan dalam akurasi pendataan petani penerima bantuan, peningkatan akses dan transparansi penunjukkan distributor berserta pengecek pupuk bersubsidi, peningkatan efektivitas penyaluran, serta peningkatan fungsi pengawasan pupuk bersubsidi.